Edited by Me |
Pada satu pagi, rekan komunitasku yang berdomisili di Ambon memberi informasi tentang Festival Menulis di Tempo. Ia hanya membuat pesan, "Pagi Bro. Ada festival menulis di Tempo tanggal 22 besok." Pagi itu tanggal 13 Oktober dan itu berarti kurang dari dua minggu sebelum acara. Aku mengulik apa itu Festival Menulis. Sebuah acara yang diselenggarakan Tempo Institute tentang kelas-kelas kepenulisan dalam satu hari. Tertarik? Tentu! Saat itu juga! Akhir-akhir ini, aku mulai tertarik dengan segala hal tentang menulis karena (1) itu sudah menjadi profesi utama dan (2) aku sadar bahwa menulis itu mengobati. Namun, kendala utama dari acara ini adalah acaranya berbayar. Waktu yang mepet dan tanpa persiapan apa pun menjadi kendala berikutnya.
Beruntungnya aku. Bang Steven, rekan komunitasku tersebut, dengan baik hati bersedia membayar kontribusi acara. Melihat peluang itu, aku tidak pikir dua kali. Kesempatan emas ini tak akan kulewatkan. Kendala waktu dan persiapan tidak kupikirkan lagi. Akhirnya, Sabtu kemarin (22/10) aku melenggangkan kaki pertama kali ke Gedung Tempo yang bau catnya masih menyengat itu dengan penuh harap dan antusiasme.
Aku sama sekali tidak tahu-menahu perihal acara yang akan kuikuti; bagaimana mekanisme acaranya, siapa saja pemateri dan latar belakangnya—kecuali Leila S. Chudori—serta harapan apa yang ingin kudapatkan setelah acara usai. Saat pendaftaran, aku diminta memilih kelas apa yang akan kuikuti. Aku sempat terdiam beberapa detik karena bingung mau pilih kelas yang mana. Tebersit keinginan untuk mengikuti kelas menulis fiksi bersama Lelia S. Chudori yang notabene seorang novelis dan peraih Khatulistiwa Literary Award, tapi aku bahkan tidak menulis hal lain selain artikel apalagi fiksi. Jadi, aku memutuskan memilih kelas menulis populer di media sosial dengan pemateri Mardiyah Chamim karena setidaknya aku generasi milenial yang sebagian besar waktunya digunakan untuk berselancar di media sosial. Selanjutnya, acara dimulai dengan pengantar dari setiap pemateri. Kecuali Arif Zulkifli yang hadir belakangan, Mardiyah Chamim, Leila S. Chudori, dan Eko Endarmoko menyambut para peserta di pagi berawan itu.
Mardiyah Chamim Bicara Soal Storytelling
Ini kali pertama aku berinteraksi dengan Mardiyah Chamim, Direktur Eksekutif Tempo Institute yang juga seorang penulis bidang kesehatan. Mengawali presentasi pengantarnya, Mardiyah memberikan data tentang 10 keterampilan yang dibutuhkan di masa kini dari World Economic Forum tentang "Future of Jobs Reports". Ia memberikan tabel perbandingan 10 keterampilan pada tahun 2015 dan 2020 dan menyebut kreativitas sebagai keterampilan dengan kenaikan paling drastis, dari nomor 10 menjadi nomor 3. Sedangkan pemecahan masalah kompleks tetap menjadi keterampilan paling utama yang harus dimiliki pada 2015 dan 2020. Ia menyebutkan kreativitas adalah hal penting untuk segala profesi termasuk menulis. Betapa membuat karya tulisan lebih menarik pada masa kini.
Mardiyah menjelaskan hal yang paling utama dalam menulis adalah kemampuan storytelling. Ia membuat studi kasus profil surat lamaran A dan B. Surat lamaran A memberikan detail yang sangat menjanjikan namun terlalu deskriptif sedangkan surat lamaran B menceritakan kisahnya dengan passion yang dimiliki. Tentu saja semua memilih surat lamaran B karena memiliki daya tarik dan kemampuan storytelling tentang passion-nya. Dalam paparannya, Mardiyah juga menyematkan satu artikel berjudul "The Irresistible Power of Storytelling as a Strategic Business Tool" dan menjelaskan mengenai strategi bisnis dengan storytelling. Bahwa storytelling sudah digunakan banyak brand untuk mengiklankan produk mereka. Tidak lagi dengan konsep hard-selling, tetapi bercerita.
Penulis yang Baik Menurut Leila S. Chudori
Menjadi pembicara kedua pada sesi pertama, Leila mengawalinya dengan sejarah Tempo yang didirikan pada 1971. Pada saat itu, Tempo merekrut sastrawan-sastrawan yang jago menulis untuk memberikan kisah lain dari laporan-laporan berita yang disajikan. Bahwa Tempo menulis berita tidak hanya konkret dan jelas, tetapi juga mendalam dan investigatif. Berkiblat pada majalah TIME di luar negeri, majalah Tempo hadir dengan tagline "story behind the news" sebagai ciri khasnya. Leila juga bercerita tentang Tempo Institute. Tidak seperti di negara-negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam yang memberikan mata pelajaran creative writing di sekolah dasar, Indonesia butuh wadah untuk mengembangkan keterampilan menulis kreatif. Melihat hal itu, maka hadirlah Tempo Institute yang fokus pada pelatihan menulis.
Sebagai seorang penulis fiksi, Leila beranggapan bahwa penulis yang baik adalah penulis yang banyak membaca—fiksi maupun nonfiksi. Namun ia lebih menyarankan fiksi karena menyangkut storytelling yang disampaikan Mardiyah sebelumnya. Membaca fiksi juga memperkaya diksi dan khazanah kepenulisan. Dan ini berarti membaca adalah modal utama seorang penulis.
Pada akhir sesi setelah kelas, Leila sempat menyebut-nyebut Blogger Buku Indonesia sebagai wadah penyaluran feedback penulis dengan media review/ulasan. Pada era digital seperti sekarang, arus informasi menjadi lebih cepat sehingga masukan para pembaca juga lebih cepat diterima dan dipelajari oleh penulis. Revolusi digital juga membantu penulis mempromosikan karya-karyanya dan berinteraksi secara langsung dengan pembaca. Sedikit menyesal karena tidak bertegur sapa dengannya. Dua karyanya yang sudah kubaca dan kuulas—"Pulang" dan "Malam Terakhir"—membuatnya menjadi salah satu penulis lokal favoritku.
Dua Tokoh Pria Lain Juga Bercerita Tentang Menulis
Tesamoko yang baru dirilisnya awal tahun ini, membuktikan bahwa Eko Endarmoko memang amat peduli bahasa Indonesia. Menurutnya, menulis dengan bahasa yang acak-acakan tidak akan membuat siapa pun dipenjara. Namun ia berkata: Bahasamu, kastamu! Sehingga bisa disimpulkan bahwa menulis yang baik dan benar memberikan pandangan lebih tinggi tentang si penulis ketimbang menulis dengan asal-asalan. Pada akhir sesi, Eko menyampaikan bahwa menulis dasar pokoknya adalah bahasa, yang perlu dilakukan pertama-tama adalah intuisi, bukan aturan bahasa. Jadi, menulislah!
Pemimpin redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, juga berseru tentang era digital yang malah membantu, baik dalam hal kepenulisan maupun hasil karyanya. Ia juga bercerita tentang Majalah Tempo versi digital yang dapat dengan mudah diakses hanya dalam genggaman tangan. Ia juga memberikan masukan tentang menulis, "Menulis adalah langkah kedua dari seorang penulis. Langkah pertamanya adalah sikap menulis. Sikap menulis itu adalah kebebasan." Sayangnya aku tidak memilih kelas menulis perjalanan bersama Arif yang sepertinya sangat seru itu.
Sudah sepanjang ini dan aku belum bercerita tentang kelas menulis populer di media sosial bersama Mardiyah Chamim. Satu hal yang termaktub dalam kepala tentang kelas tersebut adalah mind mapping dan pemilihan angle tentang apa yang akan kautulis. Tulisan yang saat ini kamu baca adalah dari segi umum tentang acara tersebut. Bila ada kesempatan, aku akan menulis dari sisi kelas menulis populer di media sosial itu sendiri. Terlalu banyak ilmu yang kudapatkan dalam satu hari. Terima kasih yang telah membuatnya terwujud, terutama kepada Bang Steven.
Beruntungnya aku. Bang Steven, rekan komunitasku tersebut, dengan baik hati bersedia membayar kontribusi acara. Melihat peluang itu, aku tidak pikir dua kali. Kesempatan emas ini tak akan kulewatkan. Kendala waktu dan persiapan tidak kupikirkan lagi. Akhirnya, Sabtu kemarin (22/10) aku melenggangkan kaki pertama kali ke Gedung Tempo yang bau catnya masih menyengat itu dengan penuh harap dan antusiasme.
Aku sama sekali tidak tahu-menahu perihal acara yang akan kuikuti; bagaimana mekanisme acaranya, siapa saja pemateri dan latar belakangnya—kecuali Leila S. Chudori—serta harapan apa yang ingin kudapatkan setelah acara usai. Saat pendaftaran, aku diminta memilih kelas apa yang akan kuikuti. Aku sempat terdiam beberapa detik karena bingung mau pilih kelas yang mana. Tebersit keinginan untuk mengikuti kelas menulis fiksi bersama Lelia S. Chudori yang notabene seorang novelis dan peraih Khatulistiwa Literary Award, tapi aku bahkan tidak menulis hal lain selain artikel apalagi fiksi. Jadi, aku memutuskan memilih kelas menulis populer di media sosial dengan pemateri Mardiyah Chamim karena setidaknya aku generasi milenial yang sebagian besar waktunya digunakan untuk berselancar di media sosial. Selanjutnya, acara dimulai dengan pengantar dari setiap pemateri. Kecuali Arif Zulkifli yang hadir belakangan, Mardiyah Chamim, Leila S. Chudori, dan Eko Endarmoko menyambut para peserta di pagi berawan itu.
Mardiyah Chamim Bicara Soal Storytelling
Ini kali pertama aku berinteraksi dengan Mardiyah Chamim, Direktur Eksekutif Tempo Institute yang juga seorang penulis bidang kesehatan. Mengawali presentasi pengantarnya, Mardiyah memberikan data tentang 10 keterampilan yang dibutuhkan di masa kini dari World Economic Forum tentang "Future of Jobs Reports". Ia memberikan tabel perbandingan 10 keterampilan pada tahun 2015 dan 2020 dan menyebut kreativitas sebagai keterampilan dengan kenaikan paling drastis, dari nomor 10 menjadi nomor 3. Sedangkan pemecahan masalah kompleks tetap menjadi keterampilan paling utama yang harus dimiliki pada 2015 dan 2020. Ia menyebutkan kreativitas adalah hal penting untuk segala profesi termasuk menulis. Betapa membuat karya tulisan lebih menarik pada masa kini.
Mardiyah menjelaskan hal yang paling utama dalam menulis adalah kemampuan storytelling. Ia membuat studi kasus profil surat lamaran A dan B. Surat lamaran A memberikan detail yang sangat menjanjikan namun terlalu deskriptif sedangkan surat lamaran B menceritakan kisahnya dengan passion yang dimiliki. Tentu saja semua memilih surat lamaran B karena memiliki daya tarik dan kemampuan storytelling tentang passion-nya. Dalam paparannya, Mardiyah juga menyematkan satu artikel berjudul "The Irresistible Power of Storytelling as a Strategic Business Tool" dan menjelaskan mengenai strategi bisnis dengan storytelling. Bahwa storytelling sudah digunakan banyak brand untuk mengiklankan produk mereka. Tidak lagi dengan konsep hard-selling, tetapi bercerita.
Mardiyah Chamim |
Penulis yang Baik Menurut Leila S. Chudori
Menjadi pembicara kedua pada sesi pertama, Leila mengawalinya dengan sejarah Tempo yang didirikan pada 1971. Pada saat itu, Tempo merekrut sastrawan-sastrawan yang jago menulis untuk memberikan kisah lain dari laporan-laporan berita yang disajikan. Bahwa Tempo menulis berita tidak hanya konkret dan jelas, tetapi juga mendalam dan investigatif. Berkiblat pada majalah TIME di luar negeri, majalah Tempo hadir dengan tagline "story behind the news" sebagai ciri khasnya. Leila juga bercerita tentang Tempo Institute. Tidak seperti di negara-negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam yang memberikan mata pelajaran creative writing di sekolah dasar, Indonesia butuh wadah untuk mengembangkan keterampilan menulis kreatif. Melihat hal itu, maka hadirlah Tempo Institute yang fokus pada pelatihan menulis.
Sebagai seorang penulis fiksi, Leila beranggapan bahwa penulis yang baik adalah penulis yang banyak membaca—fiksi maupun nonfiksi. Namun ia lebih menyarankan fiksi karena menyangkut storytelling yang disampaikan Mardiyah sebelumnya. Membaca fiksi juga memperkaya diksi dan khazanah kepenulisan. Dan ini berarti membaca adalah modal utama seorang penulis.
Pada akhir sesi setelah kelas, Leila sempat menyebut-nyebut Blogger Buku Indonesia sebagai wadah penyaluran feedback penulis dengan media review/ulasan. Pada era digital seperti sekarang, arus informasi menjadi lebih cepat sehingga masukan para pembaca juga lebih cepat diterima dan dipelajari oleh penulis. Revolusi digital juga membantu penulis mempromosikan karya-karyanya dan berinteraksi secara langsung dengan pembaca. Sedikit menyesal karena tidak bertegur sapa dengannya. Dua karyanya yang sudah kubaca dan kuulas—"Pulang" dan "Malam Terakhir"—membuatnya menjadi salah satu penulis lokal favoritku.
Dua Tokoh Pria Lain Juga Bercerita Tentang Menulis
Tesamoko yang baru dirilisnya awal tahun ini, membuktikan bahwa Eko Endarmoko memang amat peduli bahasa Indonesia. Menurutnya, menulis dengan bahasa yang acak-acakan tidak akan membuat siapa pun dipenjara. Namun ia berkata: Bahasamu, kastamu! Sehingga bisa disimpulkan bahwa menulis yang baik dan benar memberikan pandangan lebih tinggi tentang si penulis ketimbang menulis dengan asal-asalan. Pada akhir sesi, Eko menyampaikan bahwa menulis dasar pokoknya adalah bahasa, yang perlu dilakukan pertama-tama adalah intuisi, bukan aturan bahasa. Jadi, menulislah!
Pemimpin redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, juga berseru tentang era digital yang malah membantu, baik dalam hal kepenulisan maupun hasil karyanya. Ia juga bercerita tentang Majalah Tempo versi digital yang dapat dengan mudah diakses hanya dalam genggaman tangan. Ia juga memberikan masukan tentang menulis, "Menulis adalah langkah kedua dari seorang penulis. Langkah pertamanya adalah sikap menulis. Sikap menulis itu adalah kebebasan." Sayangnya aku tidak memilih kelas menulis perjalanan bersama Arif yang sepertinya sangat seru itu.
***
Sudah sepanjang ini dan aku belum bercerita tentang kelas menulis populer di media sosial bersama Mardiyah Chamim. Satu hal yang termaktub dalam kepala tentang kelas tersebut adalah mind mapping dan pemilihan angle tentang apa yang akan kautulis. Tulisan yang saat ini kamu baca adalah dari segi umum tentang acara tersebut. Bila ada kesempatan, aku akan menulis dari sisi kelas menulis populer di media sosial itu sendiri. Terlalu banyak ilmu yang kudapatkan dalam satu hari. Terima kasih yang telah membuatnya terwujud, terutama kepada Bang Steven.
Wah you are really lucky Raafi,punya teman yang baik dan bisa berkesempatan ikut kelas menulis tempo :) Terima kasih banyak sudah berbagi ilmunya :D
BalasHapusterima kasih kembali, Hana, sudah membaca tulisannya. :D
HapusKeren laporan acaranya, Fii, aya dapat banyak ilmu lewat tulisan ini. Stephen juga keren deh pokoknya, BBI juga mantep. Ayo terus memabaca dan menulis.
BalasHapusMakasih, Mas Dion! Jadi makin semangat.
Hapusbaca tulisan kk seperti mengikuti acara tersebut, lumayan buat suntikan menulis. hehe
BalasHapus