Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2016
Dibaca : 2 Juli 2016 (via SCOOP)
Rating : ★★★
Rating : ★★★
"Begitulah kalau kita sudah cinta dan sayang sama seseorang, logika jadi tumpul. Kalau lo cinta sama seseorang sampai merasa sakit seperti ini, berarti lo beneran sayang sama orang itu." (hal. 126)
Gokil amat selesai dua buku dalam sehari. Mungkin dua buku yang dibaca masuk kategori 'ringan'. Membaca buku ini, aku masih dibayang-bayangi buku-buku yang terakhir dibaca seperti "Persona" dan "Happiness". Cerita remaja yang menyayat hati mungkin sedang digandrungi akhir-akhir ini. Tentu setiap cerita yang dituturkan berbeda, seperti buku ini yang mengusung kekerasan pada perempuan.
***
Tidak banyak yang bisa dilakukan Zee ketika mamanya sudah berang. Setiap Zee melakukan setitik kekeliruan yang menurutnya bukan suatu kesalahan, mamanya memasukkannya ke kamar mandi dan menyiramnya dengan air atau memukulnya dengan apa pun yang ada dalam genggamannya. Bahkan bila sudah kelewatan, mamanya bisa membenamkan kepalanya berkali-kali ke dalam bak mandi. Namun, Zee tidak mau siapa pun tahu akan hal ini. Ia hanya punya mamanya.
Sam tahu ada yang salah dengan Zee dan babak-belur yang terpatri di tubuhnya bagai tato. Sebagai siswa yang terkenal badung, Sam sebenarnya tidak peduli dengan pelajaran bahkan siswa-siswi lain. Tapi ini Zee. Dan Sam ingin membantu karena ia tahu Zee memang dalam masalah. Lagi pula, ia ingin melindungi orang yang disayanginya, seperti ibu dan kakak perempuannya dari kekejaman sang ayah.
***
Singkat seusai membaca ini, aku teringat dengan serial tv "Kisah Sedih di Hari Minggu" yang diperankan Marshanda dan Meriam Bellina. Sinetron yang tayang bertahun-tahun lalu itu menayangkan sang kemenakan yang menerima perlakuan tidak baik dari sang tante yang tidak menginginkannya tinggal bersama dalam satu rumah. Alhasil adegan kekerasan dan tangis-menangis kerap kali muncul. Nah, supaya lebih greget, mari dengarkan original soundtrack-nya!
Sebenarnya buku ini tidak sekeji dan sedramatis sinetron di atas. Benar ada bagian Zee diperakukan buruk oleh mamanya dan benar juga terdapat bagian ketika Sam melawan kekejian sang ayah. Tentu itu ada bumbu cerita agar lebih terlihat realistis. Latar belakang kekerasan yang dialami Zee dan Sam pun kuat, walaupun memang terlihat berlebihan dan terasa tidak mungkin. Jadi, aku tidak masalah dengan hal-hal seperti itu dalam buku ini karena mendukung penulis menyampaikan pesan yang dimaksudnya.
Dan memang penulis menyampaikan pesannya dengan baik. Tentang rasa tidak aman—apa pun itu—yang harus segera diberitahukan kepada orang yang kaupercaya. Juga tentang keberanian nan teguh untuk menyampaikan kebenaran kepada pihak berwajib. Aku terkesan bagaimana penulis membuat ceritanya begitu pilu walaupun pada awalannya tidak begitu mulus. Saran membaca buku ini: bertahanlah! Kau akan merasakan ritme cerita membaik setelah beberapa puluh halaman.
Namun, ada yang membuatku kurang sreg. Alur ceritanya yang maju tidak memberikan latar waktu yang apik, malah terlihat berantakan. Semacam satu bagian dilompatkan ke bagian yang lain dan terkadang membuatku mengerutkan kening. Juga ada adegan yang mirip sekali dengan adegan sinetron. Ketika Sam dan Zee dipergoki oleh Jo dan kawan-kawannya. Yah, kau pasti tahu bagaimana kelanjutannya. Sungguh sayang cerita yang membuatku terhubung dinodai dengan adegan picisan semacam itu.
Pernah tidak merasa tertohok dengan perkataan seseorang karena begitu pas dengan dirimu pada saat itu? Itupun yang dirasakan Sam ketika guru olahraganya, Pak Gio, bicara kepadanya yang berujung pada nasihat yang dilontarkannya. Katanya, harus sejak dini menyelami dirimu sendiri karena itulah yang akan membawamu pada langkah selanjutnya. Semacam penentuan. Dan semenjak itu, Sam mencari tahu apa yang diinginkannya. Bagian inilah yang jadi favoritku pada buku ini.
Sebenarnya buku ini tidak sekeji dan sedramatis sinetron di atas. Benar ada bagian Zee diperakukan buruk oleh mamanya dan benar juga terdapat bagian ketika Sam melawan kekejian sang ayah. Tentu itu ada bumbu cerita agar lebih terlihat realistis. Latar belakang kekerasan yang dialami Zee dan Sam pun kuat, walaupun memang terlihat berlebihan dan terasa tidak mungkin. Jadi, aku tidak masalah dengan hal-hal seperti itu dalam buku ini karena mendukung penulis menyampaikan pesan yang dimaksudnya.
Dan memang penulis menyampaikan pesannya dengan baik. Tentang rasa tidak aman—apa pun itu—yang harus segera diberitahukan kepada orang yang kaupercaya. Juga tentang keberanian nan teguh untuk menyampaikan kebenaran kepada pihak berwajib. Aku terkesan bagaimana penulis membuat ceritanya begitu pilu walaupun pada awalannya tidak begitu mulus. Saran membaca buku ini: bertahanlah! Kau akan merasakan ritme cerita membaik setelah beberapa puluh halaman.
Namun, ada yang membuatku kurang sreg. Alur ceritanya yang maju tidak memberikan latar waktu yang apik, malah terlihat berantakan. Semacam satu bagian dilompatkan ke bagian yang lain dan terkadang membuatku mengerutkan kening. Juga ada adegan yang mirip sekali dengan adegan sinetron. Ketika Sam dan Zee dipergoki oleh Jo dan kawan-kawannya. Yah, kau pasti tahu bagaimana kelanjutannya. Sungguh sayang cerita yang membuatku terhubung dinodai dengan adegan picisan semacam itu.
Pernah tidak merasa tertohok dengan perkataan seseorang karena begitu pas dengan dirimu pada saat itu? Itupun yang dirasakan Sam ketika guru olahraganya, Pak Gio, bicara kepadanya yang berujung pada nasihat yang dilontarkannya. Katanya, harus sejak dini menyelami dirimu sendiri karena itulah yang akan membawamu pada langkah selanjutnya. Semacam penentuan. Dan semenjak itu, Sam mencari tahu apa yang diinginkannya. Bagian inilah yang jadi favoritku pada buku ini.
"Harusnya kantor tempat kita bekerja itu seperti playground, jadi kita tak ada beban saat bekerja. Beda kalau kantor seperti penjara, kita bisa tersiksa, dan lelah sendiri." (hal. 73)
Ulasan ini diikutsertakan dalam "Insecure Review Contest".
Tidak ada komentar :
Posting Komentar