21 April 2016

Ulasan Buku: And Then There Were None

Sampul
Judul : Lalu Semuanya Lenyap
Judul Asli : And Then There Were None
Pengarang : Agatha Christie
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2008
Dibaca : 14 April 2016
Rating : ★★★★

"Orang sering kali menggampangkan sesuatu." (hal. 107)

Senang rasanya bisa membaca karya termasyhur Agatha Cristie ini. Aku tertarik karena premis yang menyebutkan sepuluh orang datang dan meninggal satu demi satu hingga semuanya lenyap. Ditambah miniserinya yang sudah tayang sejak akhir tahun lalu, membuatku menyegerakan membaca buku terbaik Agatha Cristie versi temanku ini.

***

Sepuluh orang—well, logikanya memang sepuluh sih—diundang ke sebuah pulau oleh orang yang mengaku kenal dengan dengan mereka. Mereka dihadapkan pada satu rumah bergaya modern yang hanya satu-satunya bangunan di pulau itu; pulau gundul yang bahkan hanya terdapat batu karang di sisinya dan tidak ada pohon rindang.

Sepuluh boneka diletakkan di ruang makan. Tiap-tiap kamar terdapat satu puisi berfigura tentang Sepuluh Anak Negro. Usai makan malam pertama, mereka dihadapkan pada rekaman yang menjurus pada tuduhan pembunuhan. Dan beberapa waktu berselang, seorang dari mereka mati tersedak. Lalu, mereka menyadari ada yang salah dengan pulau itu—rumah itu. Dan satu per satu dari mereka lenyap.

***

Kau akan merasakan pengalaman lain saat membaca buku ini. Sedikit tidak luwes dalam penerjemahannya—mungkin karena versi aslinya memang bergaya seperti itu mengingat buku ini pertama kali terbit pada 1939. Terlepas dari itu, saat membaca, aku dibawa pada suasana mencekam; membuatku jengah. Kegelisahan setiap tokoh di dalamnya pun diceritakan dengan mulus dan membuatku ikut terbawa. Tipikal novel thriller memang, hanya saja yang ini lebih merasuk.

Setiap usai membaca buku, apa pun itu, aku dihadapkan pada satu pertanyaan besar: apa yang ingin disampaikan oleh penulis dengan apa yang dituliskannya itu? Satu hal yang muncul dalam kepalaku adalah penulis bermaksud untuk memberikan nilai sebuah keadilan. Diramu dengan psikologi masing-masing tokoh yang memiliki masa lalu kelam, setiap kematian yang terjadi di pulau itu mempengaruhi dan membangkitkan kembali memori mereka. Setelahnya, mereka akan pasrah dengan apa yang terjadi dan puncaknya akan melakukan hal-hal di luar kontrol. Mereka dipaksa merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan dulu.

Lalu tentang miniserinya! Wow, aku takjub dengan jalan ceritanya yang hampir sama dengan bukunya. Dibagi menjadi 3 episode yang masing-masing berdurasi lima puluhan menit, miniserinya mampu memberikan porsi pas sesuai dengan plot dan kejadian pada buku. Walaupun memang akhir ceritanya tidak sama dan ada sedikit intrik yang "wajar" dalam dunia hiburan visual yang tidak ada dalam buku, tapi siapa peduli! Aku merasa miniserinya mampu memvisualisasikan buku dengan baik. Sekali lagi, aku takjub.

Jadi, bila kamu membutuhkan bacaan berbeda untuk melatih rasa takut dan gelisahmu, buku ini cocok menjadi teman akhir pekan. Atau bila kamu terlalu malas membaca, langsung saja tonton miniserinya. Tapi aku tetap merekomendasi untuk baca bukunya terlebih dahulu. Ini menyoal prinsip sih!

2 komentar :

  1. Njir, baca resensi Raafi ini bikin saya pengin baca juga! Baru tahu kalau ada miniserinya :o

    BalasHapus
  2. Uwaaa...jadi pengen baca. Saya baru baca 1 karya agatha Christie sih (entahlah, meski penulis misteri ini terkenal saya gak penasaran sama karyanya heheh) tapi melihat plot ceritanya yang asyik itu saya jadi pengen baca. Ada serinya juga,tahun 2015 lagi,jadi pengen nonton. Kayaknya bakal seseru salah satu episode Kuroshitsuji yang plotnya mirip2 dg novel cristie ini. Apa mungkin episode anime itu terinspirasi dari novel ini ya? Hmm...

    BalasHapus