23 Januari 2016

Ulasan Buku: Yang Sulit Dimengerti Adalah Perempuan

Pengarang : Fitrawan Umar
Penerbit : Exchange
Tahun : 2015
Dibaca : 23 Januari 2016
Rating : ★★★

Aku ditawari oleh Mba Truly @ Reviewku untuk meresensi sebuah buku. Aku bertanya berapa jumlah halamannya dan dia menjawab 200-an halaman. Dengan kekuatan tekad aku bilang bersedia padanya. Buku ini sampai di tempatku pertengahan Desember tahun lalu. Aku begitu tidak enak karena tidak buru-buru membacanya. Untunglah rasa tidak enak itu mengalahkan segalanya hingga aku bisa menyelesaikan buku ini.

***

Renja seorang mahasiswa Fakultas Teknik bertemu kembali dengan Adel yang juga kuliah di kampus dan fakultas yang sama. Awalnya Renja tidak mengenali teman SD-nya itu. Hingga suatu kejadian membuatnya teringat kembali kenangan-kenangan yang terjadi bersama perempuan itu. Renja mengagumi Adel sejak pertama kali bertemu saat SD.

Sayangnya, rasa itu tumbuh menjadi cinta saat dua sejoli itu bertemu kembali. Apakah Renja bisa mengambil hati Adel di saat Adel sangat dekat dengan Sang Ketua BEM? Haruskah cintanya diperjuangkan?

***

Kamu pasti bertanya-tanya kenapa di atas aku bertanya jumlah halaman untuk buku yang dimintai untuk diresensi. Aku kapok pada buku-buku yang aku terima secara cuma-cuma tetapi tidak sesuai dengan minatku sehingga menyusahkanku ketika membaca. Tentu buku tersebut harus selesai dibaca karena resensiku ditunggu. Tetapi bila tidak bisa dinikmati, di mana letak kenyamanan membaca yang merupakan kunci utama dalam membuat resensi? Apalagi bila jumlah halamannya melebihi 300 halaman yang buatku sudah termasuk kategori sedang. Bisa dibayangkan struggle-nya kan?

Dari halaman pertama, aku sudah disajikan dengan deskripsi cerita yang manis dan indah. Pemilihan kata (diksi) yang tidak begitu diperhatikan oleh beberapa penulis, terlihat menonjol pada buku ini. Aku diharuskan sedia post-it pada saat membaca karena banyak kalimat-kalimat dan paragraf berbunga yang sayang untuk dilewatkan. Aku yakin ini merupakan gaya penulisan penulis yang sudah barang tentu diapresiasi karena tidak banyak yang bisa menulis seindah ini.

Sayyang Pattudu
Sayangnya, plot yang dibangun terlalu sederhana. Kisah Renja dan Adel begitu monoton. Sudut pandang orang pertama yang diambil Renja membuat kisah yang dibawanya hanya sebatas keinginan memiliki Adel yang susah digapai. Cinta yang tak berbalas. Bertepuk sebelah tangan. Bagai pungguk merindu bulan. Bila tidak ada hal yang menarik selain diksi, mungkin aku akan berhenti membacanya.

Juga tentang filosofi perempuan yang sulit dimengerti. Judul buku ini memberikan gambaran plural, bahwa semua perempuan sulit dimengerti. Padahal hanya ada satu perempuan yang ditemukan Renja pada buku ini yaitu Adel—dua jika Kumala termasuk. Setelah berada pada halaman terakhir pun aku tidak begitu mengerti apa yang akan penulis bawa. Apakah untuk menyesatkan para pembaca laki-laki bahwa perempuan memang sulit dimengerti? Atau pembaca diminta untuk lebih mengerti polah perempuan? Celakanya, aku tidak merasakan perubahan apa pun seusai membaca.

Namun, latar Kota Makassar dan sebuah kota bernama Pinrang yang berjarak empat jam dari Kota Makassar menyelamatkanku. Deskripsi tempat dan suasananya begitu dapat. Aku jadi penasaran dengan Sayyang Pattudu, sebuah arak-arakan kuda yang ditumpaki anak-anak yang sudah khatam Quran sebagai bentuk syukur ala suku Mandar. Juga Pantai Akkarena yang menjadi latar Renja dan Adel bertemu dan mengemukakan perasaannya masing-masing.

"Tapi kalau kau sakit hati, tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Kau hanya bisa melakukan hal-hal yang sanggup membuatmu bahagia, yang menutup kesedihan dari pikiranmu. Atau kalau kau tidak menemukan kebahagiaan lain, setidaknya jangan pusingkan dirimu dengan mencari obar kesedihan." (hal. 153)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar