Sampul |
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2015
Dibaca : 6 Juli 2015
Rating : ★★★
***
Tahun : 2015
Dibaca : 6 Juli 2015
Rating : ★★★
"Konon, hari paling penting dalam hidup manusia adalah hari saat manusia itu tahu untuk apa dia dilahirkan. Sekarang Sabari tahu bahwa dia dilahirkan untuk menjadi seorang ayah." (hal. 227)
Aku belum sempat membaca tetralogi Laskar Pelangi yang dielu-elukan itu; juga dwilogi Padang Bulan yang kata orang "nyastra sekali". Hanya belum sempat. Sebagai pengalaman pertamaku membaca karya penulis, aku menikmati diksi dan puisi dalam buku ini. Seperti ada yang khas dari penulis dengan kedua hal itu yang tidak dapat ditemukan di buku mana pun.
***
Sabari luntang-lantung di pasar ikan. Dia mulai sinting pada tahun-tahun terakhir ini. Jika ada penertiban gelandangan dan orang gila, kerap Sabari dinaikkan ke bak mobil pikap polisi pamong praja, tetapi tak lama kemudian dia akan kembali lagi ke pasar ikan. Ada sesuatu dalam diri Sabari yang tidak dapat diterimanya. Ada asa yang pupus dari dirinya. Apa yang membuatnya seperti ini? Siapakah yang tega melakukannya?
Diceritakan dari sudut pandang orang ketiga serba tahu, tidak hanya Sabari yang diceritakan dalam buku ini; calon istrinya, teman-temannya, hingga para pria yang digugat cerai di meja hijau. Dari sini aku diberi beragam pemahaman tentang cerita yang begitu kompleks dan kaya. Tapi hal kompleks dan kaya tersebut malah membuat inti ceritanya berceceran. Seperti sayur yang kelebihan garam.
Aku terpukau oleh puisi pada buku ini. Pada saat sekolah dulu, aku hanya mendapat nilai paling tinggi 7 untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Aku mengaku kalah pada Sabari yang selalu mendapat nilai lebih dari 8, bahkan Zorro yang mendapat lebih dari 9. Aku suka bagaimana penulis mengelu-elukan sastra Indonesia lewat dua tokoh ini. Aku sangat suka pada puisi-puisinya.
"Tahukah kau, Boi, langit adalah sebuah keluarga. Lihat awan yang berarak-arak itu, tak terpisahkan dari angin. Coba, bagaimana kau dapat memisahkan awan dari angin?" (hal. 62)
Juga tentang bagaimana kata-kata dipilih sehingga membuatku bagai mengikuti alunan irama bahasa. Pemilihan kata yang puitis dan hiperbolis mungkin sudah jadi ciri khas penulis. Bisa saja, entahlah. Mungkin aku akan cukup dengan menikmati puisi-puisi penulis, tapi dengan ditambah diksi indahnya, bisa dibilang membuatku overdosis. Apakah overdosis itu baik?
Singkatnya, buku ini bercerita tentang Sabari yang mencari arti sebagai seorang anak, suami, dan ayah. Pergulatan batin Sabari yang begitu keras hingga dia mencapai kadar yang sudah tak lagi bisa dibendungnya membuatku "mikir" tentang arti diriku; tentang arti seorang pria. Apakah pria harus selalu mengalah dengan perasaannya? Apakah pria boleh berada pada titik terendah dalam hidupnya dan meratapinya?
Secara keseluruhan, aku menikmati buku ini, apalagi pengalaman membaca dengan diksi dan puisi khas penulis nan indah. Tetapi yang aku cari tentang "ayah" itu belum kutemukan dalam buku ini; tidak sespesial yang kuharapkan. Tapi tentu saja pada akhirnya aku bisa mencecap karya penulis sastra kondang ini. Lalu, siapakah Zorro yang kusebutkan di atas? Baca sajalah!
"Kulalui sungai yang berliku
Jalan panjang sejauh pandangDebur ombak yang menerjangKukejar bayangan sayap elangDi situlah kutemukan jejak-jejak untuk pulangAyahku, kini aku telah datangAyahku, lihatlah, aku sudah pulang"(hal. 384)
Ulasan ini untuk tantangan 100 Hari Membaca Sastra Indonesia.
buku ini bikin mewek ngak bang ?
BalasHapusSoalnya judulnya ayah :'(
http://zulyasroom.blogspot.com/
Aku cuma sampe "mbrebes mili" doang. Tau kan itu? Satu level di bawah mewek.
Hapus