27 September 2015

Tiga Sandera Terakhir

Sampul
Judul : Tiga Sandera Terakhir
Pengarang : Brahmanto Anindito
Penerbit : Noura Books
Tahun : 2015
Dibaca : 27 September 2015
Rating : ★★★★

Apa ya nama suatu keadaan ketika kau membaca buku dan menganggapnya seperti sedang menonton film? Dalam konteks ini: film laga. Dan apa sebutan untuk buku yang membuatmu berpikir bahwa sebaiknya tidak dijadikan sebuah buku tetapi sebuah skrip karena setiap detail cerita lebih menonjolkan unsur visual?

***

Larung Nusa, duda dua anak ini sedang berada dalam keadaan terhimpit. Setelah mendengar kabar penyanderaan warga sipil lokal dan luar negeri, dia harus membuat aksi gemilang untuk melepaskan para sandera. Dia adalah seorang Komandan Penanggulangan Teror Komando Pasukan Khusus (Gultor Kopassis) dan dia juga berstatus sebagai menantu menteri pertahanan. Tuduhan sebagai perwira karbitan sudah biasa di telinganya. Dan kasus inilah yang akan membuktikan apakah dia perwira karbitan atau memang prestasi dan integritasnya yang mengantarnya pada jabatan barunya itu.

Jauh di pedalaman Papua, para sandera tidak bisa tidur nyenyak. Tempat mereka membaringkan tubuhnya beralas tanah dan beratap rumbai daun kelapa. Ditambah dengingan nyamuk dan dinginnya rimba raya tanah Melanesia yang pekat dan misterius. Tetapi yang membuat mereka selalu terjaga setiap malam adalah perasaan cemas dan takut; juga pertanyaan besar di benak mereka: kapan semua ini akan berakhir?

***

Cukup lama untuk menyelesaikan buku ini. Akan tetapi ritme satu ketukan per birama itu terjadi pada paruh awal buku. Paruh selanjutnya lagi aku babat denganlet's say—enam belas ketukan per birama. Hal ini bukan tanpa sebab. Dalam hematku, buku ini terbagi menjadi dua bagi. Mari kita sebut bagian satu sebagai "Penyanderaan" dan bagian selanjutnya sebagai "Pemusnahan".

Pada bagian "Penyanderaan", aku tidak melihat ada hal yang harus kukejar untuk cepat diselesaikan. Hanya tentang Larung Nusa yang berkutat pada taktik dan para sandera yang terus merasa gelisah. Tentu dengan minim aksi yang diberikan, membuatku harus lebih sering menenggak kopi ketimbang meneruskan membaca.

Hal sebaliknya terjadi pada bagian "Pemusnahan". Entah kenapa penulis seperti sedang membawaku menuju lorong yang berbeda dari lorong sebelumnya. Bagian ini sarat akan manuver dan aksi. Juga dengan tokohnya—astaga! Aku baru sadar bahwa tokohnya juga berbeda; bertambah dan lebih berkarakter. Dan inilah yang membuatku bisa menyelesaikannya dengan hanya segelas kopi yang bahkan masih sisa setengah. Jujur, aku bahkan belum selesai membaca ketika berkicau seperti ini:


Terlepas dari buku ini memiliki dua sisi yang berbeda, aku diberikan gelontoran wawasan tentang bahasa dan budaya penduduk paling timur Indonesia. Yang terpenting adalah tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan maksud serta tujuan mereka. Bahwa mereka menginginkan kemerdekaan yang sama dengan yang lain. Yang aku tangkap di sini bagaimana mereka merasa dibedakan dengan penduduk pulau lain Indonesia seperti jawa, sumatera, bahkan sulawesi. Aku bisa membenarkan perasaan mereka, walaupun memang caranya yang konfrontatif itu salah. Mungkin alasan yang sama juga menjadi landasan terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan gerakan separatis lainnya.

Jujur, aku sulit membayangkan daerah operasi pasukan Kolonel Larung Nusa dan letak OPM menyembunyikan para sandera. Mungkin pada cetakan berikutnya, akan lebih baik bila diberikan peta kepulauan Papua—paling tidak letak penulis membuatnya sebagai latar-latar cerita. Aku bahkan buta akan Timika dan Wamenayang pada akhirnya aku mencari tahunya sendiri. Mungkin dengan secarik peta akan mempermudah pembaca menikmati jalan cerita.

Pada akhirnya, aku puas dengan buku ini. Buku yang menambah wawasan sejarah kekelaman Papua di masa lalu. Selanjutnya, yang menjadi buku ini cerdas adalah sosok tiga sandera terakhir itu. Anggapan pembaca pada awal cerita akan berbeda dan tidak terduga setelah sampai pada halaman terakhir buku ini; aku pun begitu. Great work!

"Kami ini prajurit, Bapa. Jelaslah kami, apalagi saya, bukanlah orang suci yang tanpa dosa. Tangan kami berlumuran darah. Tapi, kami siap pasang badan untuk melindungi keutuhan republik ini. Kami ini kan terikat Sumpah Prajurit. Bila kami disuruh membunuh, apa boleh buat, kami bunuh. Kami disuruh menangkap, kami tangkap. Kami disuruh diam meski diludahi dan dikencingi musuh, kami pun diam di tempat! Atasan pasti punya alasan dan data sebelum menyuruh kami. Dalam militer, akan dianggap tindak kriminal bila kami tidak mematuhi perintah atasan, sekalipun perintah itu berlawanan dengan nurani." (hal. 82)

Ulasan ini untuk tantangan 100 Hari Membaca Sastra Indonesia.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar