Edited by Me |
Saat meriset untuk ulasan ini, aku melongo mendapati Reda Gaudiamo adalah personel AriReda yang terkenal menyanyikan puisi itu. Ari - Reda; Reda - Gaudiamo. Betapa seharusnya aku bisa menerka-nerkanya. Aku tidak begitu gandrung dengan AriReda, namun bukan berarti tidak pernah mendengarnya. Keterkejutan bodoh ini buatku mencari tahu lebih lanjut tentang siapa itu AriReda. Mereka sudah terbentuk sejak Oktober 1982. Sudah lebih dari 30 tahun dan mereka bersama dan tetap terus berkarya. Adakah yang mengira mereka suami-istri? Bukan, tentu saja. Mereka hanya dipaksa berduet di acara kampus pada Oktober 1982. Sejak itulah mereka terus bersama—maksudnya bernyanyi bersama—dan terus berkarya sampai kini. Hal terakhir yang kutahu mereka menyenandungkan puisi-puisinya Sapardi Djoko Damono.
Terima kasih kepada AriReda dan ketidakpekaanku sehingga bisa membuat separagraf pengantar. Mari kembali pada Reda Gaudiamo dan karya-karyanya "yang lain". Reda sudah menerbitkan beberapa buku yang kebanyakan adalah fiksi. Salah dua yang populer—setidaknya di Goodreads—adalah "Na Willa" dan "Aku, Meps, dan Beps". Keduanya diterbitkan secara indie. Yang satu pada 2012, satu lagi pada 2016. Tipikal keduanya: sama-sama cerita anak dari sudut pandang anak perempuan. Dan memang cerita anak menjadi spesialisasi Reda sampai-sampai ia membuka kelas penulisan cerita anak bersama Dewan Kesenian Jakarta beberapa waktu lalu. Yah, itu sudah menegaskannya, kan?
Berbeda dari cerita anak lain, aku melihat ada gaya penulisan khas dan penggunaan diksi yang sedikit "nyastra" dari kedua karyanya. Aku tidak banyak membaca cerita anak dari penulis-penulis lokal memang, tapi beberapa yang sudah kubaca tidak begitu "membekas". Lain dengan dua karya Reda ini, apalagi yang "Na Willa"—di bawah akan kujelaskan kenapa. Kusimpulkan sendiri bahwa karya-karya Reda tidak hanya cocok untuk dibaca anak-anak, tetapi juga cocok untuk para dewasa. Jalan tengahnya: para dewasa membacakannya kepada anak-anak. Ya, memang mirip dongeng namun lebih kontemporer. Mungkin sastra anak memang tepat untuk pengistilahan karya-karya Reda ini. Mungkin keunikan ini jugalah yang membuat Reda memilih untuk menerbitkannya melalui penerbit indie.
Baca juga: Penerbit Indie dan Penerbit Mayor Jalan Berbarengan
Tahun : 2016
Dibaca : 12 Maret 2017
Rating : ★★★
Rating : ★★★
Saat membaca ini, aku tidak tahu apa-apa tentang Reda Gaudiamo. Dibaca lebih dulu ketimbang "Na Willa", aku menikmati buku ini tanpa ekspektasi apa pun. Cerita mengalir begitu saja. Begitu sederhana. Lebih ke tidak ada konflik apa pun, tentang si tokoh aku yang menjalani kesehariannya dan bercerita tentang dirinya, ibunya yang dipanggil Meps, dan ayahnya yang dipanggil Beps. Kesukaan dan ketidaksukaan Meps dan Beps-nya. Juga tentang ia tidak menyukai satu makanan tetapi menyukai makanan yang lain dan tentang binatang-binatang yang ditemuinya pertama kali. Semuanya diceritakan dengan kepolosan dan kesederhanaan pikiran seorang bocah perempuan.
Sayangnya, buku ini berisi potongan-potongan deskripsi dan tidak membentuk satu cerita yang utuh. Karena sudah lama juga membacanya, aku jadi tidak ingat apa yang berkesan dari buku ini. Ah, mungkin ada beberapa seperti mobil yang dinamai Fluff, cerita tentang banjir, dan binatang-binatang yang dinamai dengan lucu, seperti Nyamuka-Nyamuki dan Semuta-Semuti. Aku bahkan tidak ingat ada konflik atau klimaks yang tercerita dalam buku ini. Untungnya, gambar-gambar Cecillia Hidayat menyelamatkan. Gambar anak perempuan yang dibuatnya mirip dengan potret Soca Sobhita di halaman depan buku ini. Muka bulat dan rambut pendek berponi. Lucu sekali.
Oh ya, buku ini adalah karya duet Reda Gaudiamo dan Soca Sobhita—yang adalah anaknya. Dijelaskan dalam Catatan Meps yang tertuang di awal, buku ini adalah kumpulan cerita Soca saat masih kecil yang ia tulis sendiri atau meminta Meps-nya mengetikkannya. "Ini terjadi selama bertahun-tahun, sampai ia hampir tamat SD. Lalu saya terpikir menjadikan catatan ini sebagai buku bersama. Isinya, catatan Soca yang ada, ditambah dengan beberapa topik yang dibahas dari dua sudut pandang: Soca dan saya," terang Reda. Buku ini dan alasan-alasan yang kujabarkan sempat membuatku tidak mengindahkan karya-karya Reda yang lain sampai beberapa bulan kemudian Mai, teman perbukuan, memberikan satu kopi "Na Willa" dan memintaku membacanya.
Tahun : 2012
Dibaca : 26 Oktober 2017
Rating : ★★★★
Rating : ★★★★
Aku amat berterima kasih kepada Mai karena buku ini melebihi ekspektasiku setelah membaca "Aku, Meps, dan Beps". Kisah seorang anak anak perempuan dengan latar zaman dulu yang membuatku teringat masa kecilku dulu yang tidak terlalu mengesankan. Setiap ada orang bertanya "Bagaimana masa kecilmu? Apa saja yang kau lakukan ketika kecil? Ceritakan pengalaman masa kanak-kanakmu!", aku cenderung meminta mereka mengganti topik. Sebenarnya, masa kecilku tidak buruk-buruk amat. Aku suka diajak mendiang ayahku ke pantai. Aku selalu mendapatkan uang dengan jumlah paling banyak ketika Lebaran karena aku cucu pertama. Aku suka menyanyi dan pernah ikut beberapa lomba dan menang. Tapi, ada sebagian dari masa kecilku yang tidak ingin kuungkit dan amat ingin kulupakan. Sudah cukup curhatnya.
Aku terhanyut pada kisah ini sampai-sampai sedikit kelewatan. Seperti Na Willa, aku tidak setiap hari bertemu ayah karena bekerja di luar kota. Seperti Na Willa, aku sudah bisa membaca tatkala teman-teman yang lain masih sibuk belajar mengeja. Seperti Na Willa, aku juga sering dimarahi ibu. Tapi, Na Willa bisa berteman dengan siapa saja. Na Willa bisa bermain kelereng walaupun tidak jago. Na Willa bisa memegang layang-layang ketika mengudara walaupun tidak bisa menerbangkannya dari awal. Na Willa punya banyak buku dan dibacakan cerita dari buku-buku itu kala mau tidur. Dan, Na Willa juga punya sahabat bernama Farida. Saking terhanyutnya, aku coba memilah-milah apa yang Na Willa alami namun tidak kualami. Intinya, buku ini mengusik sisi emosionalku. Seberpengaruh itu!
Aku menikmati buku ini. Ada konflik-konflik sederhana yang mencuat di dalamnya. Seperti ketika Na Willa dikatai Cino, ketika Na Willa melihat kakak perempuan Farida yang menikah namun bermuka sendu, dan ketika Na Willa bersekolah serta bertemu guru yang tidak menyukai namanya. Konflik-konflik kecil itu yang membuat ceritanya terkesan lebih nyata. Dan bagaimana penyelesaian-penyelesaiannya pun akan membuat hati hangat. Mungkin aku akan membaca lagi buku ini suatu saat nanti. Ketika sudah bisa menerima masa laluku sendiri.
Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Name in A Book.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar