Terkadang, sebuah peristiwa akan memantik memori pada masa lalu. Seorang anak SMA berkacamata menggandrungi sebuah buku dan meracuni teman semejanya untuk tertarik pada hal yang sama. Sejak awal si kacamata punya inisiatif mengajak teman semejanya itu membeli buku yang dibicarakan banyak orang itu. Entah amat baik atau terpaksa karena si kacamata adalah "teman"-nya, sang teman akhirnya mengiakan kala si kacamata memintanya untuk patungan membeli buku epik itu. Butuh beberapa waktu untuk mengumpulkan uang karena buku tersebut lumayan mahal dan bagi seorang anak yang tinggal di sebuah kota kabupaten dan jauh dari toko buku harus membelinya via internet. Kami harus menambahkan uang untuk ongkos kirim. Setelah pas, kami datang ke sebuah bank untuk melakukan transaksi. Si kacamata tahu itu kali pertamanya datang ke sebuah bank dan berhadapan langsung dengan petugas wanita di balik meja untuk membeli buku.
Penggalan di atas adalah secuplik memoriku. Entah bagaimana dengan temanku itu, tapi aku tidak terlalu ingat seberapa senangnya aku ketika mendapatkan buku itu. Buku itu adalah "Nibiru dan Kesatria Atlantis" karya Tasaro GK. Dan kembalinya memori itu dipantik oleh peristiwa yang baru saja diakhiri hari ini: MiGaring 2.0. Aku tak mempersiapkan apa pun untuk membicarakan masa lalu. Aku hanya menyampaikannya. Aku terpancing oleh perkenalan di awal acara yang mengharuskan setiap peserta yang hadir menceritakan tentang novel fantasi apa yang paling disuka. Bisa jadi aku melantur dari konteksnya. Tapi, siapa yang bisa tahan untuk tidak menyampaikan memori berkenaan dengan apa yang disuka? Aku yakin sulit untuk melakukannya.
Apa itu MiGaring 2.0?
Pengujung April, kami berkumpul di salah satu titik lokasi di Kebun Binatang Ragunan untuk melakukan acara yang sudah direncanakan matang-matang: MiGaring 2.0. Mungkin banyak yang bertanya akan acara tersebut. MiGaring 2.0 adalah sebuah perayaan sederhana yang digagas oleh para admin komunitas Penggemar Novel Fantasi Indonesia (PNFI). Tidak lumrah sebenarnya ketika sebuah perkumpulan tidak pernah bertatap muka satu sama lain dan hanya bisa saling berinteraksi di dunia maya saja. Dari keprihatinan tersebutlah admin membuat acara kumpul-kumpul kecil-kecilan yang bersifat sederhana namun tetap legit. Maka itulah disebut MiGaring yang adlaah kependekan dari Mini Gathering. Karena merupakan tahun kedua pelaksanaan, maka acara hari ini bernama MiGaring 2.0. Sungguh kreatif, ya?!
Yang membuat acara kumpul-kumpul ini sedikit berfaedah adalah adanya sharing session yang dibatasi dengan sebuah tema. Pada sharing session ini, setiap yang datang diharapkan untuk memberikan pendapatnya tentang tema yang sudah ditentukan tersebut. Tema MiGaring 2.0 adalah middle grade. Sebuah genre? Sebuah penamaan untuk target pembaca? Mungkin keduanya. Intinya adalah buku-buku middle grade biasanya dikhususkan bagi anak-anak yang sedang beranjak ke remaja. Tidak terlalu anak-anak dan bukan remaja juga. Jadi, di antara keduanya. Biasanya para tokoh utamanya adalah anak-anak yang masih jenjang SD tingkat akhir atau SMP tingkat awal. Tapi, umur berapa sebenarnya target pembaca buku-buku middle grade ini? Bagaimana dengan perkembangannya di Indonesia? Tema yang bagus untuk dibahas. Semakin asyik karena tidak hanya dari pembaca saja, tetapi juga ada dua tim redaksi penerbit novel-novel fantasi terjemahan Indonesia yang memberikan wawasan tentang tema ini.
Middle grade ternyata genre yang susah dipetakan
Buku-buku middle grade memang bacaan yang ringan. Bagaimana tidak? Tokoh utamanya adalah remaja tanggung yang permasalahannya mungkin tidak terlalu memusingkan. Sebenarnya, usia berapa sih yang patut membaca buku middle grade? Salah seorang yang hadir mengatakan bahwa middle grade lazimnya dibaca oleh anak-anak berusia 10-15 tahun mengingat para tokoh utamanya juga berkisar pada usia tersebut. Namun, ternyata Goodreads sendiri menyebutkan middle grade untuk usia 8-12 tahun. Apa tidak terlalu muda? Melihat hal ini, peserta lainnya lagi mengatakan bahwa ukuran usia di Indonesia dengan di luar negeri alih-alih Amerika Serikat itu berbeda. Kebanyakan yang membaca buku-buku middle grade adalah benar usia sekitar 15 tahun bahkan lebih. Begitupun dengan young adult yang di Indonesia diminati oleh pembaca berusia di atas 20 tahun padahal sebenarnya untuk remaja 17 tahun. Ada yang menyeletuk itu masalah mental. Ada juga yang menjabarkan bahwa itu adalah perkara pembiasaan sejak kecil oleh orang tua. Terlepas dari itu, ternyata, tidak mudah untuk memetakan pembaca buku-buku middle grade, apalagi di Indonesia.
Dari segi pasar, middle grade juga susah dijual
Dan karena susahnya memetakan siapa-siapa saja yang membaca middle grade, hal tersebut juga berimplikasi pada susahnya mencari target pasar yang sesuai di Indonesia. Salah satu perwakilan penerbit mengatakan bahwa penerbit harus berpikir berulang kali ketika akan menerbitkan buku-buku middle grade. Tidak hanya soal target berapa eksemplar yang dijual, namun juga soal bagaimana cara promosi yang sesuai mengingat target pembacanya. Bagi anak-anak, buku-buku middle grade terlalu dewasa. Namun, bagi remaja, buku-buku middle grade malah terlalu remeh-temeh. Belum lagi masalah konten di dalamnya. Mengingat (lagi-lagi) di Amerika Serikat sana sedang mengampanyekan keberagaman alias diversity, dunia literasinya pun berperan besar dalam hal ini. Buku-buku bertema LGBT, juga perbedaan ras dan warna kulit semakin marak diterbitkan. Bagaimana jika buku-buku middle grade yang mengandung konten seperti itu hadir di Indonesia?
Ternyata berpantomim juga susah
Seru bagaimana middle grade menjadi susah untuk ditemukan satu kesimpulan yang sama karena alasan-alasan di atas. Namun, ternyata ada yang lebih susah daripada menemukan kesimpulan-kesimpulan. Adalah berpantomim. Setidaknya bagiku. Dalam MiGaring 2.0, ada beberapa games yang dibuat untuk memecahkan es supaya mencair. Salah satunya bernama Phantom Meme yang sebenarnya disadur dari kata pantomim. Peserta yang dibagi menjadi dua kelompok harus mengorbankan salah satu anggotanya untuk memeragakan jawaban yang merupakan judul-judul novel fantasi. Dan, tebak siapa yang menjadi korban dalam kelompokku? Ya, benar! Kamu harus bermuka tebal dan memiliki jiwa patriotis dan humoris tinggi untuk melakukannya. Dan kesemuanya tidak ada dalam diriku! Jadi, sudah pasti untuk yang ini aku menyerah. Lagian, siapa suruh memilihku?
Namun, ada yang tidak susah: makan-makan!
Ya! Ini sudah pasti, keriuhan terjadi ketika aku tidak ada di lokasi karena harus menjemput paket makan siang yang sebenarnya tidak terlalu enak. Menyambut ulang tahun PNFI pada 1 Mei besok, kami memotong lilin dan meniup kue yang sudah dibeli. Dan, tak disangka, dengan amat baik hati, ada peserta yang membawa kue dengan hiasan di atasnya bertuliskan "Happy Birthday Harry and PNFI". Walaupun aku tidak sempat mencicipi kuenya, aku merasa tersanjung secara personal. Apalagi, dengar-dengar, ia membuatnya sendiri. Terima kasih ya, Silva! Selain Silva, semua peserta yang hadir membawakan makanan yang bisa mereka bawa untuk potluck party merangkap makan siang. Makanannya amat banyak dan, bagi anak kos semacam aku, melihat makanan sebanyak itu adalah nikmat yang tak terperikan. Sayangnya (untungnya), saking banyaknya, masih banyak makanan yang tersisa.
Aku bersyukur karena MiGaring 2.0 terselenggara dengan lancar, walaupun sempat was-was karena mendung. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada peserta yang menyempatkan hadir dalam acara ini. Dan, bagi yang tidak bakal bisa kubayar kebaikannya, para admin PNFI, terima kasih karena sudah meluangkan tenaga, waktu, dan uangnya untuk acara ini. Sedikit bocoran, penyelenggaraan acara ini adalah swadaya dari para admin. Yah, mungkin nantinya PNFI akan coba menjual beberapa pernak-pernik spesial untuk menambah pendapatan dan membayar semua uang para admin. Sampai jumpa di MiGaring 3.0!
Dan satu lagi: Selamat ulang tahun yang keempat, PNFI! Salah satu hal penting yang mengubah hidupku, karena denganmu, aku merasa lebih memiliki arti dan lebih-lebih-lebih memiliki kesibukan.
Penggalan di atas adalah secuplik memoriku. Entah bagaimana dengan temanku itu, tapi aku tidak terlalu ingat seberapa senangnya aku ketika mendapatkan buku itu. Buku itu adalah "Nibiru dan Kesatria Atlantis" karya Tasaro GK. Dan kembalinya memori itu dipantik oleh peristiwa yang baru saja diakhiri hari ini: MiGaring 2.0. Aku tak mempersiapkan apa pun untuk membicarakan masa lalu. Aku hanya menyampaikannya. Aku terpancing oleh perkenalan di awal acara yang mengharuskan setiap peserta yang hadir menceritakan tentang novel fantasi apa yang paling disuka. Bisa jadi aku melantur dari konteksnya. Tapi, siapa yang bisa tahan untuk tidak menyampaikan memori berkenaan dengan apa yang disuka? Aku yakin sulit untuk melakukannya.
Apa itu MiGaring 2.0?
Pengujung April, kami berkumpul di salah satu titik lokasi di Kebun Binatang Ragunan untuk melakukan acara yang sudah direncanakan matang-matang: MiGaring 2.0. Mungkin banyak yang bertanya akan acara tersebut. MiGaring 2.0 adalah sebuah perayaan sederhana yang digagas oleh para admin komunitas Penggemar Novel Fantasi Indonesia (PNFI). Tidak lumrah sebenarnya ketika sebuah perkumpulan tidak pernah bertatap muka satu sama lain dan hanya bisa saling berinteraksi di dunia maya saja. Dari keprihatinan tersebutlah admin membuat acara kumpul-kumpul kecil-kecilan yang bersifat sederhana namun tetap legit. Maka itulah disebut MiGaring yang adlaah kependekan dari Mini Gathering. Karena merupakan tahun kedua pelaksanaan, maka acara hari ini bernama MiGaring 2.0. Sungguh kreatif, ya?!
Yang membuat acara kumpul-kumpul ini sedikit berfaedah adalah adanya sharing session yang dibatasi dengan sebuah tema. Pada sharing session ini, setiap yang datang diharapkan untuk memberikan pendapatnya tentang tema yang sudah ditentukan tersebut. Tema MiGaring 2.0 adalah middle grade. Sebuah genre? Sebuah penamaan untuk target pembaca? Mungkin keduanya. Intinya adalah buku-buku middle grade biasanya dikhususkan bagi anak-anak yang sedang beranjak ke remaja. Tidak terlalu anak-anak dan bukan remaja juga. Jadi, di antara keduanya. Biasanya para tokoh utamanya adalah anak-anak yang masih jenjang SD tingkat akhir atau SMP tingkat awal. Tapi, umur berapa sebenarnya target pembaca buku-buku middle grade ini? Bagaimana dengan perkembangannya di Indonesia? Tema yang bagus untuk dibahas. Semakin asyik karena tidak hanya dari pembaca saja, tetapi juga ada dua tim redaksi penerbit novel-novel fantasi terjemahan Indonesia yang memberikan wawasan tentang tema ini.
Poster |
Middle grade ternyata genre yang susah dipetakan
Buku-buku middle grade memang bacaan yang ringan. Bagaimana tidak? Tokoh utamanya adalah remaja tanggung yang permasalahannya mungkin tidak terlalu memusingkan. Sebenarnya, usia berapa sih yang patut membaca buku middle grade? Salah seorang yang hadir mengatakan bahwa middle grade lazimnya dibaca oleh anak-anak berusia 10-15 tahun mengingat para tokoh utamanya juga berkisar pada usia tersebut. Namun, ternyata Goodreads sendiri menyebutkan middle grade untuk usia 8-12 tahun. Apa tidak terlalu muda? Melihat hal ini, peserta lainnya lagi mengatakan bahwa ukuran usia di Indonesia dengan di luar negeri alih-alih Amerika Serikat itu berbeda. Kebanyakan yang membaca buku-buku middle grade adalah benar usia sekitar 15 tahun bahkan lebih. Begitupun dengan young adult yang di Indonesia diminati oleh pembaca berusia di atas 20 tahun padahal sebenarnya untuk remaja 17 tahun. Ada yang menyeletuk itu masalah mental. Ada juga yang menjabarkan bahwa itu adalah perkara pembiasaan sejak kecil oleh orang tua. Terlepas dari itu, ternyata, tidak mudah untuk memetakan pembaca buku-buku middle grade, apalagi di Indonesia.
Dari segi pasar, middle grade juga susah dijual
Dan karena susahnya memetakan siapa-siapa saja yang membaca middle grade, hal tersebut juga berimplikasi pada susahnya mencari target pasar yang sesuai di Indonesia. Salah satu perwakilan penerbit mengatakan bahwa penerbit harus berpikir berulang kali ketika akan menerbitkan buku-buku middle grade. Tidak hanya soal target berapa eksemplar yang dijual, namun juga soal bagaimana cara promosi yang sesuai mengingat target pembacanya. Bagi anak-anak, buku-buku middle grade terlalu dewasa. Namun, bagi remaja, buku-buku middle grade malah terlalu remeh-temeh. Belum lagi masalah konten di dalamnya. Mengingat (lagi-lagi) di Amerika Serikat sana sedang mengampanyekan keberagaman alias diversity, dunia literasinya pun berperan besar dalam hal ini. Buku-buku bertema LGBT, juga perbedaan ras dan warna kulit semakin marak diterbitkan. Bagaimana jika buku-buku middle grade yang mengandung konten seperti itu hadir di Indonesia?
Ternyata berpantomim juga susah
Seru bagaimana middle grade menjadi susah untuk ditemukan satu kesimpulan yang sama karena alasan-alasan di atas. Namun, ternyata ada yang lebih susah daripada menemukan kesimpulan-kesimpulan. Adalah berpantomim. Setidaknya bagiku. Dalam MiGaring 2.0, ada beberapa games yang dibuat untuk memecahkan es supaya mencair. Salah satunya bernama Phantom Meme yang sebenarnya disadur dari kata pantomim. Peserta yang dibagi menjadi dua kelompok harus mengorbankan salah satu anggotanya untuk memeragakan jawaban yang merupakan judul-judul novel fantasi. Dan, tebak siapa yang menjadi korban dalam kelompokku? Ya, benar! Kamu harus bermuka tebal dan memiliki jiwa patriotis dan humoris tinggi untuk melakukannya. Dan kesemuanya tidak ada dalam diriku! Jadi, sudah pasti untuk yang ini aku menyerah. Lagian, siapa suruh memilihku?
Sulitnya Berpantomim |
Namun, ada yang tidak susah: makan-makan!
Ya! Ini sudah pasti, keriuhan terjadi ketika aku tidak ada di lokasi karena harus menjemput paket makan siang yang sebenarnya tidak terlalu enak. Menyambut ulang tahun PNFI pada 1 Mei besok, kami memotong lilin dan meniup kue yang sudah dibeli. Dan, tak disangka, dengan amat baik hati, ada peserta yang membawa kue dengan hiasan di atasnya bertuliskan "Happy Birthday Harry and PNFI". Walaupun aku tidak sempat mencicipi kuenya, aku merasa tersanjung secara personal. Apalagi, dengar-dengar, ia membuatnya sendiri. Terima kasih ya, Silva! Selain Silva, semua peserta yang hadir membawakan makanan yang bisa mereka bawa untuk potluck party merangkap makan siang. Makanannya amat banyak dan, bagi anak kos semacam aku, melihat makanan sebanyak itu adalah nikmat yang tak terperikan. Sayangnya (untungnya), saking banyaknya, masih banyak makanan yang tersisa.
Aku bersyukur karena MiGaring 2.0 terselenggara dengan lancar, walaupun sempat was-was karena mendung. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada peserta yang menyempatkan hadir dalam acara ini. Dan, bagi yang tidak bakal bisa kubayar kebaikannya, para admin PNFI, terima kasih karena sudah meluangkan tenaga, waktu, dan uangnya untuk acara ini. Sedikit bocoran, penyelenggaraan acara ini adalah swadaya dari para admin. Yah, mungkin nantinya PNFI akan coba menjual beberapa pernak-pernik spesial untuk menambah pendapatan dan membayar semua uang para admin. Sampai jumpa di MiGaring 3.0!
Dan satu lagi: Selamat ulang tahun yang keempat, PNFI! Salah satu hal penting yang mengubah hidupku, karena denganmu, aku merasa lebih memiliki arti dan lebih-lebih-lebih memiliki kesibukan.
Sampai Jumpa di MiGaring 3.0! |
Tidak ada komentar :
Posting Komentar