19 Maret 2017

Ulasan Buku: Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya

Judul : Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya
Pengarang : Gunawan Tri Atmodjo
Penerbit : DIVA Press
Tahun : 2016
Dibaca : 12 Maret 2017
Rating : ★★★★

"Aku sering berkhayal, andai saja ada kesempatan memilih cita-cita selain nelayan, aku ingin menjadi agen koran dan buku agar bisa membaca sepuas-puasnya." —Tuhan Tidak Makan Ikan (hal. 119)

Sebenarnya, aku sedang bertanya tentang buku terbitan DIVA Press berjudul "Sejumlah Alasan Mengapa Tiap Anak Sebaiknya Melahirkan Seorang Ibu" yang menjadi pilihan salah satu pemenang giveaway #BBIShareTheLove kepada Mas Dion Yulianto. Kenapa Mas Dion? Karena dia bisa memberikan diskon yang lumayan saat kamu berniat untuk membeli buku-buku terbitan DIVA Press. Setelahnya, aku yang berbasa-basi dan tidak sedang sungguh-sungguh ingin menambah lagi timbunanku meminta rekomendasi buku terbitan DIVA Press yang terbit baru-baru ini kepadanya. Ia menyebut buku karya Gunawan Tri Atmodjo ini dan aku dibuat penasaran karena hampir semua ulasannya memuaskan. Walaupun sampul bukunya tidak terlalu memikat (wajah siapa sih itu), aku langsung pesan bukunya. Harus menunggu keesokan harinya sampai bukunya siap karena stok yang ada di kantor habis dan harus mengambil dari gudang. Yah, setidaknya bagaimana aku mendapatkan buku ini bisa menjadi pengantar untuk ulasan kali ini. Lumayan panjang juga ya.

***

Seorang anak laki-laki dihadapkan pada kemiskinan yang membuat dirinya cepat-cepat pergi melaut bersama ayahnya untuk menambah pundi-pundi kehidupan keluarganya. Ia yang sebenarnya punya mimpi lain dan berkeinginan lanjut sekolah harus mengandaskannya karena orang tuanya berpendapat kalau dia terlahir sebagai seorang nelayan. Seperti ayahnya. Seperti nenek moyangnya. Ia sebenarnya amat suka membaca. Ia membaca koran-koran yang tersedia di rumah. Ia bahkan sangat merasa bersalah ketika mengambil buku di perpustakaan sekolahnya dulu dan hingga kini belum dikembalikan. Ada delapan buku yang terdiri dari tiga buku keagamaan, dua buku cerita rakyat, dua buku pertanian berjudul sama, dan satu buku keterampilan. Ia telah berjanji—setidaknya kepada dirinya sendiri—akan mengembalikan buku-buku itu ke perpustakaan sekolah setelah membacanya dan akan ditepati.

Hingga pada suatu ketika musim paling berat dari yang paling berat itu tiba. Ia bersama ayahnya tidak banyak mendapatkan ikan dan berangsur-angsur yang mereka dapatkan dari laut hampir nihil. Mereka bahkan berhutang untuk membeli bahan bakar perahu. Begitupun dengan nelayan-nelayan lain di desanya. Sampai pada suatu keputusan bahwa mereka akan melalukan persembahan kepada Tuhan. Seluruh nelayan di desa akan mengumpulkan semua hasil tangkapan ikan untuk dikurbankan seberapa pun hasilnya. Ternyata pada saat hari persembahan, anak laki-laki dan ayahnya mendapatkan banyak hasil tangkapan, bahkan ada cumi-cumi berukuran agak besar yang lezat dan bernilai jual tinggi. Bagaimanapun, mereka sudah berjanji untuk mempersembahkan hasil tangkapan hari itu kepada Tuhan. Yah, apa boleh buat. Mereka hanya bisa menelan ludahnya sendiri. 

***

Dalam sebuah forum, seorang pengarang buku inspirasi dan motivasi bertanya tentang hal yang kerap kali diluputkan namun dekat dengan orang-orang pada umumnya: kenapa orang-orang membuat rumit hal-hal yang sebenarnya sederhana? Ia berpendapat bahwa orang-orang kebanyakan merumitkan hal-hal yang ada di hadapan mereka karena mereka ingin menghindari kebenarannya. Dengan melakukannya, mereka merasa dapat mengabaikan hal tersebut. Menurutnya, hidup sebenarnya sederhana. Jawabannya selalu antara hitam dan putih. Segala pertanyaan bisa diminimalisasi dengan jawaban ya atau tidak. Namun, memang kenyataannya tidak sesederhana itu. Itulah yang membuat orang-orang menghindari hal tersebut dan berdalih tentang apa pun sebagai bahan penolakan.

Aku tidak dapat berargumen dengan apa yang sang penulis jabarkan di atas. Kadang, aku juga merasa hal-hal yang sebenarnya bisa dikerjakan dengan mudah menjadi susah karena aku membuatnya susah. Biasanya dengan cara menundanya. Contoh saja, tentang pekerjaanku yang membuat artikel setiap hari. Aku sebenarnya sudah memilih satu topik untuk ditulis namun aku malah melakukan hal lain; berselancar di internet, membaca hal-hal yang tidak sesuai dengan topik, dan berlama-lama dengan situs media sosial. Pekerjaan yang sebenarnya mudah dan dapat dilakukan tepat waktu menjadi terbengkalai serta terasa sulit karena terlalu banyak hal yang dilakukan lebih dahulu sebelum melakukannya. Hal yang sebenarnya dekat dengan diriku sendiri tapi tidak ingin kupikirkan karena, yah, aku memang tidak ingin memikirkannya.

Membaca cerita-cerita di dalam buku ini, kamu akan dihadapkan pada sekelumit permasalahan konyol seperti anak laki-laki nelayan di atas. Hal-hal yang sebenarnya dipersulit oleh manusia itu sendiri sebagai makhluk berakal. Bukan tentang bagaimana anak laki-laki itu tidak akan pernah menggapai mimpinya (permasalahan ini memang rumit), tapi tentang bagaimana orang-orang di desa nelayan itu menjadi begitu putus asa dan khawatir dengan tidak adanya ikan atau hasil tangkapan apa pun sehingga pemimpin di sana memutuskan untuk melakukan persembahan. Tentu saja penduduk yang berputus asa menuruti apa saja yang terlihat masuk akal. Toh mereka makhluk sosial yang bertuhan jadi tidak ada salahnya untuk berkurban. Namun, kebutaan mereka bisa jadi dimanfaatkan oleh sang pemimpin karena hasil tangkapan mereka bukannya ditaruh di sebuah tempat keramat atau ke alam bebas tapi dibawa si pemimpin ke luar desa menggunakan truk. Apa yang bisa para nelayan pikirkan saat itu?

Edited by Me

Kisah tentang anak laki-laki nelayan di atas aku kupas dari cerpen "Tuhan Tidak Makan Ikan" yang merupakan satu dari beberapa cerpen yang menjadi favorit. Yah, sebenarnya semuanya bagus, tapi ada kisah yang mengungguli dari yang lainnya. Selain cerpen yang menjadi judul buku kumpulan cerpen ini, aku juga menyukai "Kalender, Undangan Nikah, dan Puisi", "Ramalan", dan "Imam Ketiga". Aku akan coba menjelaskan kenapa aku menyukai salah satu di antaranya.

"Kalender, Undangan Nikah, dan Puisi" berkisah tentang seorang pengusaha percetakan kecil-kecilan di Solo. Ia lulusan sastra Indonesia dan telah menguburkan mimpinya sebagai seorang penyair. Dahulu ia begitu menyuntuki puisi. Ia membuat puisi-puisi yang dimuat di koran lokal sebanyak dua kali. Ratusan puisi telah dibuatnya dan sebanyak itu pulalah karyanya dikirimkan ke media massa namun tak ada lagi yang dimuat. Ia mulai realistis dan memupuskan niatnya itu dengan sukarela. Ia meminjam modal kepada kakaknya dan menggunakannya untuk membeli seperangkat mesin cetak kecil dan membuka usaha percetakan rumahan.

Hal menarik terjadi menjelang akhir ketika sang pengusaha mendapati puisinya yang tertempel pada undangan pernikahan buatannya diminati oleh seseorang bernama Sapardi. Sampai di situ aku begitu semringah; berharap nasib sang pengusaha menjadi lebih baik karena dilirik setidaknya oleh seseorang yang mungkin saja memang seorang penyair kondang. Hal konyol pun dimunculkan lagi. Bagaimana sang pemeran utama dibuat bodoh dengan pengharapan sesaatnya itu.

***

Pada akhirnya, aku suka bagaimana penulis membuat cerita-cerita di dalam buku ini nyeleneh dengan guyon yang sarkastis yang terlihat mulus dan sopan namun begitu menampar. Cerita yang bila dibaca terasa ringan dan terkadang membuat terkikik-kikik namun setelah selesai membacanya terdapat hal-hal besar yang sebenarnya ingin penulis sampaikan. Seperti pada cerpen "Tuhan Tidak Makan Ikan", kamu akan diajak mengerti tentang betapa orang-orang yang putus asa mudah dimobilisasi dengan cara bodoh sekalipun. Juga pada cerpen "Kalender, Undangan Nikah, dan Puisi" yang memberikan gambaran bahwa sebenarnya impian-impian seseorang sangat mudah dilambungkan namun pada saat yang sama sangat mudah dijatuhkan kembali.

Mungkin aku akan menjadikan Gunawan salah satu penulis lokal favoritku dengan karya-karya yang mari kita sebut sebagai sastra humor. Pengalaman yang baru saat membaca cerpen. Jumlah dua puluh tiga dalam buku ini tidak menyurutkan keinginanku membaca cerpen yang setipe. Suatu candu.

Baca juga ulasan Mas Dion Yulianto untuk buku ini di basabasi.co.

Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Asian Literature.

1 komentar :

  1. Dari resensi terlihat menarik. Dan bukunya pasti menarik. Tapi, saya merasa cerpen bukan pilihan bacaan saya yang saya sukai, dan kumcer jadi kurang menarik buat saya. Akhirnya, saya boleh saja mengintip kumcer dari ulasan-ulasan saja. Hahaha

    BalasHapus