Sampul |
Pengarang : Agata Barbara
Penerbit : Ice Cube
Tahun : 2015
Dibaca : 14 Februari 2016
Rating : ★★★
Tahun : 2015
Dibaca : 14 Februari 2016
Rating : ★★★
Ada begitu banyak hal yang bisa kauceritakan berhubungan dengan remaja. Dari sisi psikologi, remaja bisa dibilang selalu memiliki sifat egois dengan kadar paling banyak dibandingkan jenjang umur lain. Dari sisi pengalaman hidup, realitas kehidupan yang sebenarnya sedikit demi sedikit ditemui oleh para remaja. Selain kebanyakan pembaca fiksi adalah mereka yang berusia remaja, penjabaran di atas bisa jadi alasan penerbit berikutnya untuk membuat lini Young Adult Realistic Novel.
Kanna baru saja lulus SMA dan diminta oleh kedua orangtuanya untuk melanjutkan studi di Singapura. Alasan pendidikan dan pengalaman menjadi alasan Papa dan Mama Kanna kenapa ia harus pergi. Tetapi Kanna tahu, ada alasan lain juga. Kanna terlalu mandiri, tidak bisa berbaur dengan orang lainbahkan dengan teman sekelasnya sendiri. Dingin. Tertutup.
Siapa yang akan tahu kalau tidak mencoba? Kanna akhirnya tiba di Singapura. Tak disangka ia berada satu rumah dengan teman-teman dari berbagai negara. Awalnya ia merasa tidak bisa menjalani hidupnya. Tetapi Kanna terus mencoba dan mencoba; membuka diri pada teman sekamarnya, Sally. Juga kepada teman-teman satu rumah lainnya.
Ceritanya begitu sederhana dan konflik yang diberikan tidak begitu rumit. Gaya bahasa penulis pun masih terlihat umum. Tapi aku suka bagaimana penulis membuat alurnya cepat dan mengalir begitu saja. Pemilihan bahasa yang digunakan pun sangat remaja. Karya debut yang bisa menjadi acuan penulis untuk mencari gaya penceritaannya sendiri.
Aku merasa bahwa ada sebagian remaja yang merasa dirinya tidak perlu orang lain untuk melakukan apa pun untuknya. Remaja seperti itu merasa bahwa dirinya tidak mau direpotkan dan menghindari basa-basi. Sebagian remaja lain yang seperti itu merasa kalau dia bisa melakukan apa saja tanpa bantuan orang lain. Aku tahu karena aku sempat menjadi remaja seperti itu. Begitu pun Kanna.
Perubahan seseorang, baik itu remaja atau pun dewasa, memang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kanna pada akhirnya bisa berubah; membuka diri, tidak kaku, dan lebih supel dibandingkan ketika ia tiba di Singapura. Tentu saja pengaruh teman sekamarnya, Sally, yang ceria dan mudah percaya dengan orang lain membuat sifat Kanna bisa dinego.
Yang menarik pada buku ini adalah negeri Merlion itu sendiri. Penulis, seperti yang tertulis pada bukunya, memang sudah sejak SMP tinggal di Singapura. Tidak heran bahwa rasa Singapura dengan kekhasan kotanya sangat terdeskripsikan dengan jelas pada buku ini. Saranku cuma satu: pada karya berikutnya, cobalah untuk menulis dengan latar tempat yang belum pernah ditinggali sebelumnya.
Pada akhirnya, buku ini cocok untuk remaja—sepertinya orang dewasa juga—yang merasa bahwa dirinya superior dan bisa melakukan apa pun tanpa bantuan siapa pun. Hewan saja membutuhkan pasangan untuk memiliki anak. Apalagi manusia yang memiliki seabrek keinginan dan kebutuhan. Terus menulis ya, Agata!
Ulasan ini untuk tantangan Young Adult Reading Challenge 2016.
***
Kanna baru saja lulus SMA dan diminta oleh kedua orangtuanya untuk melanjutkan studi di Singapura. Alasan pendidikan dan pengalaman menjadi alasan Papa dan Mama Kanna kenapa ia harus pergi. Tetapi Kanna tahu, ada alasan lain juga. Kanna terlalu mandiri, tidak bisa berbaur dengan orang lainbahkan dengan teman sekelasnya sendiri. Dingin. Tertutup.
Siapa yang akan tahu kalau tidak mencoba? Kanna akhirnya tiba di Singapura. Tak disangka ia berada satu rumah dengan teman-teman dari berbagai negara. Awalnya ia merasa tidak bisa menjalani hidupnya. Tetapi Kanna terus mencoba dan mencoba; membuka diri pada teman sekamarnya, Sally. Juga kepada teman-teman satu rumah lainnya.
***
Ceritanya begitu sederhana dan konflik yang diberikan tidak begitu rumit. Gaya bahasa penulis pun masih terlihat umum. Tapi aku suka bagaimana penulis membuat alurnya cepat dan mengalir begitu saja. Pemilihan bahasa yang digunakan pun sangat remaja. Karya debut yang bisa menjadi acuan penulis untuk mencari gaya penceritaannya sendiri.
Aku merasa bahwa ada sebagian remaja yang merasa dirinya tidak perlu orang lain untuk melakukan apa pun untuknya. Remaja seperti itu merasa bahwa dirinya tidak mau direpotkan dan menghindari basa-basi. Sebagian remaja lain yang seperti itu merasa kalau dia bisa melakukan apa saja tanpa bantuan orang lain. Aku tahu karena aku sempat menjadi remaja seperti itu. Begitu pun Kanna.
"Kepercayaan itu seperti kertas, susah dibuat tapi mudah dihancurkan." (hal. 153)
Perubahan seseorang, baik itu remaja atau pun dewasa, memang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kanna pada akhirnya bisa berubah; membuka diri, tidak kaku, dan lebih supel dibandingkan ketika ia tiba di Singapura. Tentu saja pengaruh teman sekamarnya, Sally, yang ceria dan mudah percaya dengan orang lain membuat sifat Kanna bisa dinego.
Yang menarik pada buku ini adalah negeri Merlion itu sendiri. Penulis, seperti yang tertulis pada bukunya, memang sudah sejak SMP tinggal di Singapura. Tidak heran bahwa rasa Singapura dengan kekhasan kotanya sangat terdeskripsikan dengan jelas pada buku ini. Saranku cuma satu: pada karya berikutnya, cobalah untuk menulis dengan latar tempat yang belum pernah ditinggali sebelumnya.
Pada akhirnya, buku ini cocok untuk remaja—sepertinya orang dewasa juga—yang merasa bahwa dirinya superior dan bisa melakukan apa pun tanpa bantuan siapa pun. Hewan saja membutuhkan pasangan untuk memiliki anak. Apalagi manusia yang memiliki seabrek keinginan dan kebutuhan. Terus menulis ya, Agata!
"Orang Jepang bilang setiap manusia punya tiga macam 'wajah'. Wajah pertama adalah wajah yang mereka kenakan di tempat umum. Wajah kedua adalah wajah yang mereka tunjukkan pada keluarga dan sahabat dekat mereka. Dan wajah ketiga adalah wajah yang tidak pernah ditunjukkan pada orang lain. Wajah yang misterius dan hanya orang itulah yang tahu seperti apa wujudnya." (hal. 198)
Ulasan ini untuk tantangan Young Adult Reading Challenge 2016.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar