04 November 2015

Halaman Terakhir

Sampul
Judul : Halaman Terakhir
Pengarang : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Tahun : 2015
Dibaca : 31 Oktober 2015
Rating : ★★★

"Pada saat itulah, laju mobil tiba-tiba berhenti. Suara pintu kemudian terdengar dibuka dengan terburu-buru. Satu dari laki-laki itu membuka ikatan di matanya, lalu begitu saja mendorong tubuhnya keluar mobil. Sumaryah jatuh dengan pakaian nyaris lepas seluruhnya." (hal. 14-15)

Sabtu (31/10), aku menghadiri acara Obrolan Pembaca Media Indonesia (OPMI). Kali ini bersama penulis novel "Halaman Terakhir", Yudhi Herwibowo, pembaca bebarengan memberikan pendapat tentang sosok Hoegeng. Siapakah beliau sebenarnya?

***

Hari itu Hoegeng dipanggil Pak Presiden, ditawari untuk menjadi duta besar di salah satu negara di Eropa. Hoegeng sudah tahu tentang desas-desus pencopotan jabatan dirinya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Hoegeng bertanya-tanya apa karena kinerja buruknya atau ada hal lain yang membuatnya harus bernasib seperti itu. Apalagi ada dua kasus besar yang masih harus dituntaskan olehnya.

Pemerkosaan Sum Kuning dan penyelundupan mobil mewah adalah dua kasus nasional terbesar pada saat Hoegeng menjabat di kepolisian. Integritasnya sungguh diuji. Apakah kedua kasus itu akan terselesaikan dengan tuntas? Lalu, apakah Hoegeng akan menerima tawaran duta besar itu?

***

Ekspektasiku tentang genre fiksi-historis pada buku ini sungguh tercapai. Kisah-kisah hidup Pak Hoegeng sungguh terceritakan dengan baik. Berbeda dengan novel semi-biografi yang lain, buku ini tidak menceritakan si tokoh utama dari dia kecil hingga dewasa. Sungguh bila seperti itu, aku merasa sangat bosan. Dan jujur, buku ini saja butuh waktu hampir satu minggu untuk diselesaikan.

Bersama Mas Yudhi dan rekan BBI di OPMI
Dua kasus yang menimpa Hoegeng sungguh menarik. Penulis diajak untuk ikut "geregetan" dengan para pelaku yang hingga kini masih belum jelas siapa. Dua kasus yang pembaca dikuras emosinya. Dua kasus yang masih belum tuntas hingga akhir cerita.

Nuansa tahun 60 hingga 70-an sungguh terasa. Penulis mengakui bahwa dia bahkan sampai memotret foto-foto pada koran yang terbit masa itu hingga ia bisa menggambarkannya melalui kata. Dan aku salut akan itu.

"Djaba Kresna mengendarai skuternya dengan kecepatan sedang. Jalanan masih sepi. Hanya beberapa dokar yang tampak di sela-sela jalan. Gerobak sapi yang membawa padi sesekali terlihat melintas." (hal. 97)

Kisah pergulatan Hoegeng diselipi dengan kisah roman fiksi Jati Kusuma dan Wulan Sari, bawahannya. Roman ini juga yang membuatku bertahan hingga halaman terakhir. Walaupun tidak terlalu banyak porsinya, paling tidak ada sedikit penyegaran fiksi pada buku ini. Dan itu penting.

Sayangnya, menurutku, alur yang dibawakan sedikit lambat. Ada beberapa bab yang malah aku merasa seperti sedang membaca buku teks sejarah. Karakter Hoegeng pun tidak kuat. Beliau tercitra lamban dalam membuat keputusan.

Kita bisa belajar apa pun dari kehidupan seseorang. Hoegeng memberi pelajaran bahwa hidup harus disesaki dengan keikhlasan dan kesederhanaan. Dua hal yang akan menjadikan siapa saja"nrimo" dengan suatu keadaan yang tiba-tiba. Buku yang patut dibaca untuk semua anggota kepolisian.

"Ia tahu, tahu sekali, adakalanya seseorang memang tak lagi bisa melawan, sekeras apa pun ia berusaha. Seperti daun-daun yang tak lagi bisa menahan diri untuk terlepas, dan gugur ke tanah ...." (hal. 407)

2 komentar :

  1. fotonya keren raafi,
    yang sebelah kiri mas aan ya? kalo gak salah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. panggilannya Mas Aan tho. saya kenalnya Arkian Widi, Mas :D

      Hapus