05 Oktober 2016

Ulasan Buku: The Kite Runner

Judul : The Kite Runner
Pengarang : Khaled Hosseini
Penerbit : Qanita
Tahun : 2010
Dibaca : 25 September 2016
Rating : ★★★★★

"Baiklah, apa pun yang diajarkan mullah itu padamu, hanya ada satu macam dosa, hanya satu. Yaitu mencuri. Dosa-dosa yang lain adalah variasi dari dosa itu. Kau paham?" (hal. 34)

Sebentar. Aku merasa berbeda ketika melihat ulasan buku-bukuku sekitar setahun apalagi tiga tahun lalu. Aku bahkan hanya mengulas dalam beberapa kalimat yang dibagi-bagi menjadi paragraf. Kenapa aku membahas hal ini? Karena aku melihat-lihat ulasan buku Khaled Hosseini: A Thoushand Splendid Suns yang kubaca pada Juli 2013. Bahkan ulasan pada tahun lalu pun masih jauh lebih sedikit ketimbang ulasan yang kutulis akhir-akhir ini, seperti pada ulasan The Kite Runner: Graphic Novel yang kubaca pada Juni 2015. Kau tahu, bahkan melalui tulisan saja terlihat jelas bahwa orang-orang itu berubah. People change.

***

Hassan dan Ali akhirnya pergi setelah apa yang Amir lakukan pada mereka—terutama pada Hassan. Amir telah meninggalkan hadiah ulang tahunnya di kediaman Ali dan menuduh Hassan yang mencurinya. Tentu saja ayah Amir bertanya kebenarannya pada Hassan, namun Hassan tetap tutup mulut.

Amir dewasa harus menebusnya. Ia tahu apa yang dilakukannya di masa lalu telah menghantuinya selama ini. Meninggalkan istrinya di California, Amir harus kembali ke Kabul untuk menjemput seorang anak laki-laki. Anak yang menjadi budak musuhnya, Assef. Anak yang memiliki keinginan kecil untuk tidak ditempatkan di panti asuhan. Anak yang pada akhirnya Amir tahu masih sedarah dengannya.

***

Ada beberapa pengakuan seputar buku yang kubaca kali ini. Pertama, bahwa bagiku membaca karya Khaled Hosseini adalah candu tersendiri sehingga betapapun tebal bukunya, pasti tidak lama untuk menyelesaikannya. Kedua, bahwa aku telah menguras berliter-liter air mata saat menelusuri kisah Amir dan Hassan ini. Entahlah, Khaled Hosseini sangat mahir membuat cerita menjadi begitu dramatis. Bahkan saat adegan Amir melempar Hassan dengan buah delima pun membuatku menaruh segepok empati pada Hassan.

Inilah dilemanya menjadi pembaca pria. Bukan bermaksud seksis atau apa, hanya saja sebagai seorang pria sudah seharusnya tidak terlalu memakai perasaan dalam segala hal. Begitupun ketika membaca. Di sisi lain, menikmati kegiatan tertentu seperti membaca buku ataupun menonton film dengan menangis adalah hal yang wajar terlepas siapa kamu sebenarnya. Hal itu menandakan bahwa kamu benar-benar menikmatinya.

The Kite Runner (2007)

Lupakan tentang dilema dan mari kembali pada kisah Amir dan Hassan yang begitu kompleks. Seperti karya khas Khaled Hosseini yang kubaca sebelumnya, buku ini juga memberikan latar waktu yang panjang. Termaktub pada buku sejak Hassan lahir pada 1964 sampai Amir dewasa pada sekitar awal 2001. Walaupun tidak diceritakan secara mendetail setiap tahunnya, setidaknya buku ini terbagi jadi tiga bagian. Pertama adalah ketika Amir dan Hassan masih berada di Kabul, Afghanistan. Ketika Amir dewasa dan bersama Baba-nya sudah pindah ke Amerika Serikat adalah bagian kedua. Dan babak terakhir adalah ketika Amir harus kembali lagi ke Kabul untuk menuntaskan misi yang diembannya. Entahlah, ini hanya teoriku saja.

Sebenarnya aku ingin menjabarkan tiap bagian-bagian yang kusebutkan di atas, namun butuh bertahun-tahun untuk megabulkan hal itu. Belum lagi riset yang harus dilakukan untuk memperdalam ulasan tiap bagian tersebut. Dan kubilang sekali lagi: buku ini begitu kompleks. Kamu akan menemukan arti persahabatan dan persaudaraan yang bagai lapisan tipis air yang beku. Kamu juga akan menemukan konflik-konflik kemanusiaan yang sungguh menyayat hati; tentang gerakan Taliban yang menjadi unsur penting dari kisah Amir dan Hassan. Juga tentang konflik batin yang dibawakan oleh sudut pandang orang pertama yaitu Amir; perasaan bersalahnya, fakta yang diterimanya kala dewasa, sampai beban misi yang menjadi tolok ukur penebusan dosanya.

Dan, satu lagi. Plot twist-nya. Astaga. Penyebab sebagian besar aku menangis adalah plot twist-plot twist yang bertubi-tubi hadir pada buku ini. Aku bertanya-tanya apakah ada buku lain yang menyamakan kelihaian plot twist yang dihadirkan pada buku. Coba sebutkan satu saja dan aku akan coba membandingkannya dengan buku ini. Oh ya, aku bahkan tidak menyebut-nyebutkan soal layang-layang yang menjadi objek utama buku ini. Biarkan menjadi pertanyaan besar bagi yang belum membaca buku ini.

Akhir kata, lima bintang untuk karya debut penulis ini. Itu berarti aku akan membacanya kembali suatu saat nanti bila ada kesempatan. Kesempatan ketika perasaan bersalah dan menyerah datang padaku dan aku tak mengerti apa yang harus kulakukan selain membaca buku ini. Atau ketika merasa sepi dan hanya kisah kesetiaan Hassan-lah yang mengobati. Aku mungkin akan meneteskan air mata sama banyaknya seperti yang sudah kuteteskan.

"Untukmu, keseribu kalinya!" (hal. 97)

2 komentar :

  1. Hm.. Gue ngga pernah kepikiran soal dilema pembaca pria.. Hahaha makasih udah sharing Raafi :) dan gue blm baca buku ini karena takut nangis, gue baca buat merasa senang dan lari dari kenyataan. Hahaha tapi pernah nonton filmnya (karena nyangka filmnya bakal jadi tugas analisis mata kuliah like beberapa tahun berturut-turut dosen pakai film buat jadi tugas analisis jadi gue berusaha nyicil duluan dan ternyata pas angkatan gue bukan film ini yang dipakai). 😂😂

    BalasHapus
  2. WOW, sampai meneteskan air mata? Buku ini tentu saja spesial. Dan mungkin saya juga akan membacanya kelak. Setidaknya untuk saat ini saya pernah tau ada pembaca buku ini yang mengatakannya sebagai buku bagus.

    BalasHapus