31 Juli 2016

Ulasan Buku: Teka-Teki Terakhir

Judul : Teka-Teki Terakhir
Pengarang : Annisa Ihsani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Dibaca : 24 Juli 2016
Rating : ★★★★

"Kalau aku boleh memberimu satu nasihat, Laura, janganlah terlalu fokus pada satu hal hingga lupa menghargai apa yang ada di sekelilingmu." (hal. 93)

Baru kali ini bangga usai menyelesaikan novel 'teenlit'. Alasan cerdas dan tidak biasalah yang membuatku merasa seperti itu. Setelah terpukau dengan gaya penceritaan penulis pada buku terbarunya yang terbit beberapa waktu lalu, aku merasa buku ini juga tidak kalah memukau. Aku sedang bertanya-tanya untuk mengoleksi semua karya penulis satu ini.

***

Laura Welman tahu tidak ada yang salah dengan rumah Jalan Eddington Nomor 112 itu. Orang-orang mengatakan bahwa rumah tersebut dihuni oleh ahli kimia gila yang sedang melakukan eksperimen berbahaya. Versi lainnya mengatakan bahwa mereka ahli botani gila yang sedang meneliti tanaman langka. Tidak lagi setelah Laura mendapatkan buku berjudul "Nol: Asal-usul dan Perjalanannya" dari seorang pria tua penghuni rumah itu yang selanjutnya ia tahu bernama Tuan Maxwell.

Tuan Maxwell ternyata ahli matematika! Dan dia tidak gila! Dia juga tidak sedang bereksperimen ataupun meneliti tanaman langka. Laura sangat senang bisa berkenalan dengan pasangan Maxwell. Mereka baik. Dan di dalam rumahnya terdapat sebuah ruangan berisi begitu banyak buku dan Laura bisa meminjam dan membacanya sesuka hati. Bahkan ketika Jack—kakaknya—dan Katie—teman karibnya—masih bertanya-tanya akan penghuni Jalan Eddington Nomor 112.

***

Teorema Terakhir Fermat. Tidak sampai 50 halaman pertama, aku langsung disuguhkan frasa tersebut yang merupakan teorema dalam bidang matematika. Aku tidak perlu menjelaskan apa definisinya. Kalian bisa mencari tahunya sendiri. Tapi yang ingin kutekankan di sini adalah betapa riset tentang teorema tersebut sungguh brilian. Penulis bisa menyejajarkan latar waktu yang benar-benar nyata dengan kisah fiksi yang dibuatnya.

"Semua orang aneh dengan caranya sendiri. Terkadang keanehanmu tidak cocok dengan keanehan orang lain, jadi mereka menyebutmu aneh. Tetap terkadang keanehanmu cocok dengan keanehan seseorang, dan kalian bisa berteman." (hal. 147)

Jadi begini. Latar waktu yang terdapat dalam buku ini adalah sekitar tahun 1992 yang, ternyata, setelah kutelusuri lebih lanjut berhubungan dengan Teorema Terakhir Fermat yang ditemukan bukti kebenarannya beberapa tahun setelahnya—tepatnya pada 1994. Tuan Maxwell yang mendedikasikan hidupnya untuk membuktikan kebenaran teorema tersebut memang berhubungan dengan apa yang terjadi. Dalam cerita disebutkan pada tahun ketika bukti kebenaran Teorema Terakhir Fermat dikemukakan, Tua Maxwell diundang dalam publikasi tersebut. Belum lagi tentang penjabaran tentang teorema matematika lain sampai tokoh-tokoh matematika yang tidak dapat kusebutkan. Oke. Sekali lagi aku bilang, buku ini memiliki riset yang brilian.

Lalu tentang ceritanya, aku menikmati interaksi pertama Laura dan Tuan Maxwell. Aku juga menyukai narasi gadis belia 12 tahun yang Laura tuturkan. Aku suka konfliknya yang sederhana, permasalahannya dengan percaya dirinya dan juga dengan Katie. Dan aku suka segala sisipan segala hal tentang matematika di dalamnya—bukan berarti aku suka matematika.

Namun selanjutnya aku berpikir tentang target pembaca yang dibuat oleh buku ini. 'Teenlit' memang dikhususkan bagi adik-adik usia SMP-SMA. Tentang penjabaran matematikanya yang njelimet, juga percakapan ala-ala dewasa khas penulis yang disalurkan melalui Laura. Apakah mereka nyaman membacanya, atau yang lebih penting, apakah mereka mengerti membaca buku ini? Tapi mungkin hanya firasatku saja yang berlebihan. Anak zaman sekarang kan pandai-pandai—serius, ini bukan sarkasme. Atau aku saja yang terlalu tidak mengerti matematika.

Aku senang sekaligus bangga usai membaca buku yang termasuk "kaya" ini. Buku ini menyiratkan pelajaran tentang bagaimana mencari minatmu dengan segala hal yang bisa kaucoba. Sebagai remaja, kau harus memiliki setidaknya satu hal yang kausukai dan cari tahu apa yang bisa kaulakukan dengan hal tersebut. Selanjutnya, lakukan sajalah semua hal itu dan biarkan waktu yang menentukan. Lalu, tentang menghargai apa yang ada di sekelilingmu—atau biasa disebut peduli. Aku masih bertanya-tanya apa hubungan kisah Laura dengan judul buku ini. Ada yang bisa jelaskan padaku?

"Baiklah. Kalau begitu anggaplah alam semesta akan berakhir. Tetapi aku tidak tahu kapan itu akan terjadi. Jadi, apa yang harus kulakukan dengan hidupku sekarang? Tentu saja, aku bisa menghabiskan waktuku tanpa melakukan apa-apa, berpikir toh semua akan sia-sia saja. Tetapi bukankah lebih menyenangkan mengisinya dengan menanam tomat, membaca buku, dan membuktikan teorema?" (hal. 219)

1 komentar :