19 Juli 2016

Ulasan Buku: Sylvia's Letters

Judul : Sylvia's Letters
Pengarang : Miranda Malonka
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2015
Dibaca : 17 Juli 2016 (via SCOOP)
Rating : ★★★

"Kita hidup di masa ketika batasan benar dan salah dikaburkan oleh perasaan dan hormon. Perubahan emosional dari kanak-kanak ke remaja sangat membingungkan dan menyakitkan." (hal. 74)

Kembali membaca buku remaja lokal. Sepertinya aku sedang menggandrungi buku bertema seperti ini. Untungnya aku merasa karya-karya lokal semakin bagus dan lebih beragam; tidak melulu soal cinta monyet atau cerita-cerita yang utopis. Namun, memang akhir-akhir ini entah kenapa selalu dapat cerita buku bertema "sakit" atau yang biasa disebut sicklit. Bagaimana dengan Sylvia? Apa yang sebenarnya terjadi padanya dan surat-suratnya?

***

Hidup Sylvia hanya berkutat antara alas gambar dan kuas lukis saja hingga ia menonton pertunjukan mingguan kelas dan melihat cowok—yang akhirnya diketahui bernama Gara—yang memerankan John Jasper dari cerita "The Mystery of Edwin Drood". Mungkin ia dilanda cinta pada pandangan pertama. Sejak saat itu, Sylvia menuliskan surat untuk Gara yang isinya cerita-cerita yang dilaluinya. Namun ia memutuskan tidak akan mengirimkan surat-surat itu sampai kapan pun.

***

Bagian awal aku disuguhi surat pertama Sylvia yang berisi hasil PR Bahasa Indonesia-nya tentang cara memandang diri, semacam esai. Darinya, Sylvia tergambar sebagai remaja cerdas yang memiliki pemikiran terbuka. Aku menggarisbawahi kutipan esai Sylvia berikut: 'Terkadang saya merasa bahwa impian dan keegoisan saya akan membuat saya tak pernah punya teman, tapi berhubung manusia adalah makhluk sosial, jadi saya tentunya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan supaya bisa hidup dengan maksimal.' Dari pernyataan tersebut, aku cetak tebal kata 'impian' dan 'keegoisan'—dua hal yang nantinya mewakili keseluruhan cerita pada buku ini.

"Apakah itu berarti pandangan orang lain tentang saya amatlah penting? Sulit bagi saya untuk menjawabnya, karena terkadang saya begitu peduli pada penilaian orang-orang di sekitar saya, dan di saat lain saya melakukan segalanya tanpa merasa harus mendengarkan komentar mereka." (hal. 8)

Narasi yang dibawakan penulis pada buku ini memang unik. Sesuai judulnya, jalan cerita dijabarkan oleh Sylvia melalui surat-surat yang ditujukan kepada Gara—cowok yang ia taksirdan tak pernah dikirim. Namun membaca setiap suratnya yang panjang-panjang dan berisi dialog, logikaku berpacu. Apa mungkin ada surat yang dibuat seperti itu? Tangan Sylvia tidak pegal? Berapa banyak kertas yang dipakai sebagai media tulisannya? Lalu aku ingat kalau buku ini fiksi yang berarti apa saja mungkin terjadi menurut imajinasi dan rekayasa si pembuatnya. Jadi, aku mulai membiasakan dengan cerita dalam surat yang ditulis Sylvia.

Aku menghela napas usai membaca. Akhiran yang begitu dramatis menutup kisah Sylvia dengan segala macam masalah yang dilaluinya. Kemudian aku berpikir, apa saja sih masalah yang membuat nasibnya berakhir seperti itu? Tentang obsesinya untuk menjadi kurus, tentang cinta, tentang pertemanan. Oh, juga tentang impian dan hobinya. Berat, sungguh berat hidup Sylvia. Saking beratnya, aku jadi bingung mau mengambil bagian mana tentang Sylvia untuk diingat. Inilah yang kusadari belakangan bahwa kisah Sylvia begitu kompleks tanpa ada satu topik yang dijabarkan secara menyeluruh.

"Jadi manusia bebas itu adalah menjadi diri sendiri dan tidak terbebani standar orang lain, sekaligus menghormati makhluk lain dalam upaya mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. tidak mengusik, tidak diusik. Tak ada yang dirugikan." (hal. 89)

Mungkin aku akan ambil bagian Sylvia yang tidak makan berpuluh-puluh hari untuk ditaruh dalam memori. Yap, ia tidak makan selama itu hanya untuk mengikuti obsesinya menjadi lebih 'tidak gendut' daripada remaja wanita lain. Aku jadi bertanya-tanya apakah ini sesuai dengan apa yang ditulisnya pada esainya tentang padangan orang lain. Dan inilah yang menjadi pelajaran tersirat bagi para remaja untuk menempatkan diri lebih tepat; bagian diri yang mana yang harus sesuai dengan keinginan orang lain dan bagian diri lain yang mana yang tidak harus terpengaruh orang lain. Obsesi sungguh mengerikan, kontrol dirilah yang bisa membunuh kengeriannya.

Dan Gara. Aku pikir itu juga obsesi Sylvia yang membuatnya terus-menerus menulis surat kepada cowok itu. Walaupun pernah bersama-sama Gara dan sempat menamakan hubungan mereka Teman Saling Suka, Sylvia yang akhirnya ditinggalkan oleh cowok yang ia sukai sejak pandang pertama itu seperti hilang arah dan berdampak pada kebiasaan tidak makannya yang berujung pada penyakit anoreksia nervosa yang dideritanya. Sungguh menyedihkan, hanya karena satu cowok hidupmu menjadi begitu ketergantungan. Satu pelajaran lagi. Jangan mencintai seratus persen terhadap pasanganmu.

Untuk buku setebal kurang dari 200 halaman, aku menyukai gaya penulisan buku ini yang mengusung konsep surat-menyurat, juga deskripsi warna yang dibuat Sylvia atas lukisan-lukisannya. Tetapi kandungan ceritanya yang begitu kompleks membuat tidak membuat nyaman walaupun memang pelajaran-pelajaran tersiratnya mengemuka dari setiap topik yang diangkat. Oh ya, aku suka bagian akhirnya! Bagian ketika Gara akhirnya menulis panjang lebar tentang isi hatinya. Itu sungguh membikin melodramatis.

"Guru dramaku bilang, tubuh adalah avatar kita. Layaknya avatar di dunia maya yang kita pilih untuk melambangkan atau mencitrakan diri kita, tapi tak lebih dari itu. Sebagian orang menganggap penting apa yang dilihat indera, tapi menurutku yang jauh lebih penting adalah apa yang ada di dalam dirimu. Di dalam kepalamu. Jiwamu. Nggak ada gunanya memoles avatar-mu sebagus apa pun kalau isinya kosong." (hal. 192)

Ulasan ini untuk Young Adult Reading Challenge 2016.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar