Edited by Me |
Aku manusia yang acap berpindah. Bisa dibilang, tidak pernah tinggal di satu daerah lebih dari sepuluh. Saya lahir di kota Cilacap, lalu pindah ke Tangerang saat masih balita, lalu pindah lagi ke kota Cilacap untuk mulai sekolah, lalu ke desa bernama Wanareja di kabupaten Cilacap dari SD kelas lima sampai lulus SMA, lalu balik lagi ke Tangerang untuk kuliah, ke Jakarta untuk bekerja. Sekarang, aku berada di Amerika Serikat. Satu hal yang dibutuhkan adalah adaptasi dengan lingkungan baru. Hal yang begitu sulit aku lakukan, apalagi ketika berpindah ke desa Wanareja dari kota Cilacap saat kelas lima SD yang mari kita lewati kisahnya. Adaptasi yang sulit juga terjadi kala pindah ke Amerika Serikat. Semuanya berbeda. Dari makanan, bahasa sehari-hari yang digunakan, sampai orang-orang sekitar yang baru. Sejak juli 2018 sampai sekarang—sekitar 50-an hari sebelum kembali ke Indonesia hore—aku pun masih dalam proses adaptasi yang sungguh tidak mudah.
Aku pun bertanya kepada seorang teman yang berpindah tentang proses adaptasinya. Sejak akhir tahun lalu, Gladhys pindah dari Jakarta dalam rangka terpilih untuk melakukan riset seni di Yogyakarta. Dia berkata bahwa kesulitannya berada pada adaptasi budaya secara general dan upayanya dengan identitas dirinya. Salah satunya adalah logat Jakarta-nya yang kental, pembawaannya dalam bicara yang tanpa tedeng aling-aling, sampai penampilannya. Pada akhirnya, Gladhys mengaku bahwa makin banyak teman-teman dan kenalan barunya yang mengerti dan mendukungnya untuk jadi dirinya sendiri. Selain itu, lambat laun, dia juga sedikit mengubah identitasnya dengan makin fasih berbahasa Jawa. Usaha-usaha adaptasi Gladhys ini yang juga dilakukan oleh karakter utama bernama Norris Kaplan dalam “The Field Guide to the North American Teenager” karya Ben Philippe.
Pengarang : Ben Philippe
Penerbit: Balzer + Bray (imprint Harper Collins)
Tahun : 2019
Dibaca : 13 Maret 2019
Rating : ★★★★
Norris Kaplan adalah seorang remaja kulit hitam yang terpaksa harus pindah dari Quebec, Kanada ke Austin, Amerika Serikat. Norris amat “berterima kasih” kepada Judith—sang mama—yang mendapatkan pekerjaan di Amerika Serikat. Sayangnya, Norris kesulitan dalam beradaptasi terhadap lingkungan barunya. Austin adalah kota yang panas bahkan Norris harus membawa baju ganti setiap harinya ke sekolah karena pakaiannya akan basah kuyup sampai hari berakhir. Norris memilih untuk menelepon Eric—sahabatnya—di Quebec yang semakin hari semakin menurun intensitasnya karena sama-sama sibuk. Identitas dirinya yang seorang Kanada dengan logat yang kental juga memberikan kesulitan tersendiri. Cerita berlanjut pada Norris yang bertemu dengan Liam, remaja kulit putih Austin yang kaya dan gandrung hoki—yang mana olahraga favorit di Kanada.
“The Field Guide to the North American Teenager” adalah karya solo pertama Ben Philippe yang berkebangsaan Kanada. Dilihat dari deskripsinya, Norris Kaplan adalah cetak diri pengarang—mereka sama-sama seorang kulit hitam Kanada yang pandai berbahasa Prancis (French Canadian) dan berasal dari Haiti. Buku ini bersudut pandang orang ketiga yang sang naratornya tahu segalanya. Dibawakan dengan jenaka dan penuh sarkasme khas remaja, buku ini memberikan angin segar kisah remaja kulit hitam yang biasanya terkesan serius dan menggebu-gebu. Bila dideskripsikan dalam satu kalimat, buku ini adalah tentang seorang remaja kulit hitam yang pindah dari Kanada ke Amerika Serikat dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Dalam sesi tanya-jawab di Goodreads, Philippe memilih kota Austin, Texas—dari puluhan ribu kota di Amerika Serikat—karena dia pernah tinggal di sana selama tiga tahun.
Selain Liam yang menjadi teman dekat Norris berkat hoki, Norris pun berinisatif mencari pekerjaan. Norris memiliki banyak waktu luang setelah sekolahnya, dan lagi pula ia juga ingin mengumpulkan uang untuk membeli tiket pesawat ke Quebec pada spring break nanti untuk bertemu dengan ayahnya dan—terutama—Eric. Sayang beribu sayang, ia bekerja di sebuah restoran keluarga McElwees yang salah satu anaknya ia kenali: Madison, seorang gadis kulit putih yang masuk tim pemandu sorak nan populer.
Mari kita telisik apa yang Norris lakukan di atas. (1) Norris berkenalan dengan Liam berkat hoki. (2) Norris menyibukkan diri dengan bekerja paruh waktu. Keduanya bisa menjadi panduan lapangan yang tepat bagi siapa saja yang baru pindah ke daerah baru. Pertama, berkenalan dengan orang dan berbagi hal favorit: olahraga, buku, musik, atau lainnya. Kedua, berinisiatif untuk menyibukkan diri; bisa dengan kerja paruh waktu, ikut sebuah klub buku, atau sekadar mengambil gambar seperti yang disarankan oleh Lifehack.
Unsur diversitas dijunjung tinggi oleh sang pengarang dalam buku ini. Selain seorang French Canadian yang berkulit hitam alias keluarga Kaplan, ada juga Aarti Puri—gebetan Norris yang seorang Punjabi alias berasal dari India. Tentu saja tidak lupa dengan ras kulit putih khas Amerika bagian utara yang diwakili oleh Maddie, Liam, dan teman-teman Norris lainnya. Tak lupa, sang pengarang yang seorang kulit hitam juga tetap memberikan sentuhan isu orang kulit hitam di Amerika. Satu-satunya yang aku perhatikan adalah adegan percakapan Judith dan Norris pada tengah malam setelah pulang dari kantor polisi.
Adegan itu bermula ketika Norris berjalan tanpa arah dan tujuan pada tengah malam dan merasa frustrasi setelah prom yang buruk dan dia ditangkap oleh polisi karena dia masih di bawah umur dan mabuk. Saat Judith datang dan menjemputnya di kantor polisi, Norris merasa bahwa ada yang salah dengan sang mama. Judith memberinya silent treatment dan tidak mengatakan apa pun sampai Norris menyeletuk bahwa dirinya kelaparan. Judith tetap diam sampai Norris mengakui kesalahannya. “Mom, tonight was ridiculous, ‘m aware of that, but ‘m really freaking starving here. I didn’t actually have any food at the prom, and I don’t feel—,” ujar Norris sebelum ponselnya bergetar karena Liam menelepon. Judith yang begitu kesal melempar ponsel Norris dan pada titik itulah Judith mencurahkan perasaannya. Bahwa Judith sudah melakukan yang terbaik untuk membesarkan anak laki-lakinya dan membuatnya “berperilaku baik”. Percakapan tengah malam itu antara sang ibu dan anak laki-lakinya semakin intens. Sang ibu begitu khawatir bahwa anak laki-laki remaja kulit hitamnya bisa saja bernasib sama seperti remaja kulit hitam lainnya.
Kata-kata Judith di atas sungguh pukulan keras bagi Norris. Dia terkejut dan merasa bodoh—sama denganku sebagai pembaca yang juga terkejut mengingat kembali bahwa Norris adalah remaja kulit hitam. Sepanjang cerita, aku diingatkan bahwa Norris adalah orang Kanada yang berpindah ke Amerika Serikat. Aku diingatkan bahwa Norris kesulitan beradaptasi dengan segala macam perbedaan yang ada di Amerika Serikat. Namun, selama cerita juga, aku dibuat lupa bahwa Norris seorang remaja kulit hitam yang beberapa dari mereka memiliki sejarah kelam di Amerika Serikat (beberapa nama remaja kulit hitam disebutkan oleh Judith di atas). Briliannya, pengarang sama-sama membuat lupa bahwa Norris—si pemeran utama—dan aku—si pembaca. Silent treatment Judith dan segala perlakuannya kepada Norris tengah malam itu sama-sama menghantamku dan Norris. Adegan ini adalah bagian terfavoritku dan, bisa dibilang, menjadi salah satu klimaks dari keseluruhan cerita.
Awalnya, aku hanya memberi tiga dari lima bintang untuk buku ini. Unsurnya hampir sama dengan kisah remaja khas Amerika lainnya. Karakter-karakter remaja SMA yang lengkap—pemandu sorak nan populer dan si “berbeda” yang tidak populer, ditambah dengan kisah cinta segitiga remaja tanggung yang “ruwet” plus pesta prom. Selama menulis ulasan ini, aku berpikir kembali bahwa mungkin pengarang sengaja membuat ceritanya sangat Amerika supaya memperlihatkan apa saja yang biasa terjadi di sana. Terlepas dari unsur-unsur itu, ada kedalaman lain yang berbeda: kisah seorang remaja kulit hitam yang sedang beradaptasi dengan lingkungan baru. Buku ini memberikan panduan lapangan kala berpindah ke daerah yang benar-benar baru—tidak hanya untuk remaja Amerika bagian utara saja tetapi juga mereka yang membacanya. Aku ubah bintangnya menjadi empat.
Rating : ★★★★
Norris Kaplan adalah seorang remaja kulit hitam yang terpaksa harus pindah dari Quebec, Kanada ke Austin, Amerika Serikat. Norris amat “berterima kasih” kepada Judith—sang mama—yang mendapatkan pekerjaan di Amerika Serikat. Sayangnya, Norris kesulitan dalam beradaptasi terhadap lingkungan barunya. Austin adalah kota yang panas bahkan Norris harus membawa baju ganti setiap harinya ke sekolah karena pakaiannya akan basah kuyup sampai hari berakhir. Norris memilih untuk menelepon Eric—sahabatnya—di Quebec yang semakin hari semakin menurun intensitasnya karena sama-sama sibuk. Identitas dirinya yang seorang Kanada dengan logat yang kental juga memberikan kesulitan tersendiri. Cerita berlanjut pada Norris yang bertemu dengan Liam, remaja kulit putih Austin yang kaya dan gandrung hoki—yang mana olahraga favorit di Kanada.
***
“The Field Guide to the North American Teenager” adalah karya solo pertama Ben Philippe yang berkebangsaan Kanada. Dilihat dari deskripsinya, Norris Kaplan adalah cetak diri pengarang—mereka sama-sama seorang kulit hitam Kanada yang pandai berbahasa Prancis (French Canadian) dan berasal dari Haiti. Buku ini bersudut pandang orang ketiga yang sang naratornya tahu segalanya. Dibawakan dengan jenaka dan penuh sarkasme khas remaja, buku ini memberikan angin segar kisah remaja kulit hitam yang biasanya terkesan serius dan menggebu-gebu. Bila dideskripsikan dalam satu kalimat, buku ini adalah tentang seorang remaja kulit hitam yang pindah dari Kanada ke Amerika Serikat dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Dalam sesi tanya-jawab di Goodreads, Philippe memilih kota Austin, Texas—dari puluhan ribu kota di Amerika Serikat—karena dia pernah tinggal di sana selama tiga tahun.
Selain Liam yang menjadi teman dekat Norris berkat hoki, Norris pun berinisatif mencari pekerjaan. Norris memiliki banyak waktu luang setelah sekolahnya, dan lagi pula ia juga ingin mengumpulkan uang untuk membeli tiket pesawat ke Quebec pada spring break nanti untuk bertemu dengan ayahnya dan—terutama—Eric. Sayang beribu sayang, ia bekerja di sebuah restoran keluarga McElwees yang salah satu anaknya ia kenali: Madison, seorang gadis kulit putih yang masuk tim pemandu sorak nan populer.
Mari kita telisik apa yang Norris lakukan di atas. (1) Norris berkenalan dengan Liam berkat hoki. (2) Norris menyibukkan diri dengan bekerja paruh waktu. Keduanya bisa menjadi panduan lapangan yang tepat bagi siapa saja yang baru pindah ke daerah baru. Pertama, berkenalan dengan orang dan berbagi hal favorit: olahraga, buku, musik, atau lainnya. Kedua, berinisiatif untuk menyibukkan diri; bisa dengan kerja paruh waktu, ikut sebuah klub buku, atau sekadar mengambil gambar seperti yang disarankan oleh Lifehack.
Unsur diversitas dijunjung tinggi oleh sang pengarang dalam buku ini. Selain seorang French Canadian yang berkulit hitam alias keluarga Kaplan, ada juga Aarti Puri—gebetan Norris yang seorang Punjabi alias berasal dari India. Tentu saja tidak lupa dengan ras kulit putih khas Amerika bagian utara yang diwakili oleh Maddie, Liam, dan teman-teman Norris lainnya. Tak lupa, sang pengarang yang seorang kulit hitam juga tetap memberikan sentuhan isu orang kulit hitam di Amerika. Satu-satunya yang aku perhatikan adalah adegan percakapan Judith dan Norris pada tengah malam setelah pulang dari kantor polisi.
Adegan itu bermula ketika Norris berjalan tanpa arah dan tujuan pada tengah malam dan merasa frustrasi setelah prom yang buruk dan dia ditangkap oleh polisi karena dia masih di bawah umur dan mabuk. Saat Judith datang dan menjemputnya di kantor polisi, Norris merasa bahwa ada yang salah dengan sang mama. Judith memberinya silent treatment dan tidak mengatakan apa pun sampai Norris menyeletuk bahwa dirinya kelaparan. Judith tetap diam sampai Norris mengakui kesalahannya. “Mom, tonight was ridiculous, ‘m aware of that, but ‘m really freaking starving here. I didn’t actually have any food at the prom, and I don’t feel—,” ujar Norris sebelum ponselnya bergetar karena Liam menelepon. Judith yang begitu kesal melempar ponsel Norris dan pada titik itulah Judith mencurahkan perasaannya. Bahwa Judith sudah melakukan yang terbaik untuk membesarkan anak laki-lakinya dan membuatnya “berperilaku baik”. Percakapan tengah malam itu antara sang ibu dan anak laki-lakinya semakin intens. Sang ibu begitu khawatir bahwa anak laki-laki remaja kulit hitamnya bisa saja bernasib sama seperti remaja kulit hitam lainnya.
“You know damn well! Trayvon Martin, Tamir Rice, Cameron Tillman, so many others that I can’t remember all their names anymore! You’re not a handsome blue-eyed little Ken doll who’s going to get a slap on the wrist every time he messed up. That, tonight? Do you know what that was? Do you?!”
Kata-kata Judith di atas sungguh pukulan keras bagi Norris. Dia terkejut dan merasa bodoh—sama denganku sebagai pembaca yang juga terkejut mengingat kembali bahwa Norris adalah remaja kulit hitam. Sepanjang cerita, aku diingatkan bahwa Norris adalah orang Kanada yang berpindah ke Amerika Serikat. Aku diingatkan bahwa Norris kesulitan beradaptasi dengan segala macam perbedaan yang ada di Amerika Serikat. Namun, selama cerita juga, aku dibuat lupa bahwa Norris seorang remaja kulit hitam yang beberapa dari mereka memiliki sejarah kelam di Amerika Serikat (beberapa nama remaja kulit hitam disebutkan oleh Judith di atas). Briliannya, pengarang sama-sama membuat lupa bahwa Norris—si pemeran utama—dan aku—si pembaca. Silent treatment Judith dan segala perlakuannya kepada Norris tengah malam itu sama-sama menghantamku dan Norris. Adegan ini adalah bagian terfavoritku dan, bisa dibilang, menjadi salah satu klimaks dari keseluruhan cerita.
Awalnya, aku hanya memberi tiga dari lima bintang untuk buku ini. Unsurnya hampir sama dengan kisah remaja khas Amerika lainnya. Karakter-karakter remaja SMA yang lengkap—pemandu sorak nan populer dan si “berbeda” yang tidak populer, ditambah dengan kisah cinta segitiga remaja tanggung yang “ruwet” plus pesta prom. Selama menulis ulasan ini, aku berpikir kembali bahwa mungkin pengarang sengaja membuat ceritanya sangat Amerika supaya memperlihatkan apa saja yang biasa terjadi di sana. Terlepas dari unsur-unsur itu, ada kedalaman lain yang berbeda: kisah seorang remaja kulit hitam yang sedang beradaptasi dengan lingkungan baru. Buku ini memberikan panduan lapangan kala berpindah ke daerah yang benar-benar baru—tidak hanya untuk remaja Amerika bagian utara saja tetapi juga mereka yang membacanya. Aku ubah bintangnya menjadi empat.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar