21 Agustus 2017

Ulasan Buku: Lady Susan

Judul : Lady Susan
Pengarang : Jane Austen
Penerbit: Qanita
Tahun : 2016
Dibaca : 14 Juni 2017
Rating : ★★★

"Aku hendak memintamu, Alicia sayang, untuk memberiku selamat: aku kembali menjadi diriku sendiri, ceria dan berjaya!" (hal. 87)

Pada pos sebelumnya, aku bertekad mengejar ketertinggalanku dalam mengulas buku-buku yang kubaca sejak Juni lalu. Dan, tahukah kamu bahwa hal ini sungguh jadi beban berat? Aku tetap membaca buku-buku namun keinginan untuk mengulas masih stagnan alias tidak ada kemajuan. Hal itu mengakibatkan tumpukan buku-buku-yang-sudah-dibaca-tetapi-harus-diulas semakin meninggi. Aku coba mencari-cari penyebab atas kemunduranku yang satu ini. Yang paling bisa diterka adalah waktu kerjaku yang terlalu fleksibel tapi kurang disiplin. Selain itu, juga karena kerjaanku sekarang menuntut harus dilakukan tanpa cela sehingga memerlukan fokus tinggi. Apalagi pekerjaannya adalah menulis. Serasa semua konsentrasiku harus tertuju pada pekerjaanku saja tanpa memikirkan rutinitasku yang lain, seperti menulis ulasan buku.

Pos kali ini adalah ulasan novel klasik yang selesai dibaca pada minggu kedua bulan Juni lalu. Lady Susan adalah karya Jane Austen pertama yang kucicipi. Membelinya karena sangat ingin baca karya penulis klasik wanita termasyhur ini namun yang tidak tebal-tebal amat. Memang, bukunya tidak kurang dari 130 halaman. Dan membaca buku ini sungguh menyenangkan. Aku membayangkan cerita ala-ala sinetron yang dibuat pada masa silam dengan latar kehidupan orang-orang borjuis. Mereka yang selalu mengenakan gaun-gaun menggembung dan tuksedo-tuksedo dengan celana yang tingginya di atas mata kaki.

***

Susan Vernon atau biasa kalangan atas memanggilnya Lady Susan sedang berkabung atas kematian suaminya. Bersamaan dengan itu, ia yang selalu hidup dalam gelimangan harta tidak mau berlama-lama meratapi nasib dan harus mencari suami baru yang kaya raya untuk dirinya sendiri dan untuk putrinya, Frederica. Keinginan yang menggebu-gebu ditambah kecantikannya yang tidak bisa ditolak oleh para laki-laki menimbulkan rumor buruk di masyarakat London. Lady Susan membawa Frederica terpaksa pindah ke rumah adik iparnya di desa untuk sementara waktu untuk meredakan rumor yang mengintainya. Apakah tujuan utamanya dalam mencari pasangan baru membuahkan hasil mengingat ia harus pindah ke tempat lain? Bagaimana dengan Frederica yang juga sebenarnya sudah harus mencari pasangan untuk dirinya sendiri?

***

Hal menyesakkan ketika menuliskan sebuah ulasan buku yang sudah lama dibaca adalah detail cerita yang pudar dimakan cerita-cerita pada buku-buku lainnya. Begitupun pada buku ini. Yang kutulis pada ulasan singkat di Goodreads adalah tentang aku yang terhibur hingga tertawa kala menyelesaikan buku ini. Aku juga merasa gedek dengan muslihat yang dirancang Lady Susan untuk memuluskan rencananya. Selain itu, aku menuliskan: "Lady Susan memiliki ambisi-ambisi yang tak kenal kompromi bahkan untuk anaknya sendiri."

Aku menerka-nerka apa yang terjadi pada Lady Susan. Sepertinya ceritanya berlangsung seperti ini: Lady Susan pindah ke desa dan bertemu seorang pria yang mana lebih muda dari dirinya dan seharusnya menjadi pasangan Frederica. Lady Susan sudah berkeinginan untuk menjadikan pria tersebut pasangannya. Padahal, pemuda itu dan Frederica—yang tiba di desa beberapa waktu setelah ibunya—menjadi sangat akrab dan sepertinya saling jatuh cinta. Drama-drama memikat dihidupkan ketika sang ibu meminta anaknya untuk pergi sehingga apa yang diinginkannya tetap berjalan sesuai rencana. Namun, apakah ia mendapatkan hati si pria itu? Aku ... lupa. Yang paling kuingat adalah Lady Susan yang amat dikhawatirkan oleh istri sang pemilik rumah di desa karena mendekati si pria itu alias adik laki-lakinya sendiri. Selain itu, Lady Susan selalu mengekang kehendak putrinya sendiri. Duh, malah jadi ingin baca ulang.

Yang menarik dari buku ini adalah pembawaannya ceritanya yang berupa korespondensi surat-menyurat. Bukan, bukan satu orang berkorespondensi dengan orang lainnya dan saling berbalas surat. Surat-surat itu adalah hasil korespondensi beberapa tokoh pada buku ini yang menjadi menarik karena setiap dari mereka memiliki persepsi dan tudingan berbeda di antara satu sama lain. Penyampaian melalui surat juga membuat pembaca tahu perangai masing-masing tokoh dari sudut pandang orang lain. Hal-hal seperti ini mengingatkanku pada adegan-adegan monolog di sinetron, yaitu ketika seorang tokoh mengatakan apa yang ada dalam pikirannya tanpa mengucapkannya secara langsung tetapi melalui rekaman suara. Selain itu, kisah tentang merebut hati seseorang yang dibawakan oleh janda genit juga memberiku kenangan akan drama picisan sinetron. Jangan salahkan aku membandingkan buku ini dengan sinetron-sinetron tanah air. Aku jadi bertanya-tanya apakah penulis skenario juga membaca karya-karya Jane Austen.

Mungkin aku benar memulai karya Jane Austen dengan Lady Susan. Penerjemahannya bagus dan mudah dipahami. Kisah pencarian cinta Sang Lady memberikanku keinginan untuk membaca karya-karya Jane Austen lainnya namun sekaligus mengurungkannya. Walaupun menyenangkan dan menghibur, konten cerita Jane Austen tentang romantisasi yang kelewat menggelikan membuatku lebih baik membaca novel fantasi saja. Selain itu, karya-karya Jane Austen kebanyakan tebal-tebal.

Love & Friendship (2016)

Aku bisa saja membaca ulang buku ini ketika membutuhkan cerita yang aneh, konyol, dan menggelikan—yang mana amat jarang. Namun, membacanya juga tidak rugi-rugi amat. Kamu akan dibawa nyengir dengan drama-drama dan percekcokan yang tidak begitu penting dari Lady Jane dan tokoh-tokoh lainnya. Lady Susan ini juga diadaptasi ke dalam film berjudul Love & Friendship yang rilis pada tahun 2016 lalu. Bagi yang ogah-ogahan membaca bukunya, bisa juga menonton filmnya.

Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Classic Literature.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar