11 Februari 2015

Saman

Sampul
Judul : Saman
Pengarang : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2014
Dibaca : 9 Februari 2015
Rating : ★★★

“Ketika kami meninggalkan tempat itu, saya melihat si lelaki berkacamata mencopot singletnya, dan memakainya untuk melap keringat. Mula-mula di leher, lalu di ketiak, dan di dadanya yang telanjang.” Laila (hal. 11)

Aku mendapatkan buku ini pada saat Book War IRF, Desember tahun lalu. Sepertinya aku beruntung karena kondisi bukunya yang masih mulus bersegel. Dan lebih beruntung lagi karena buku ini karya penulis kenamaan, Ayu Utami, si penulis cantik kontroversial, katanya.

***

Tiga orang di tempat kerja Sihar meninggal karena kecelakaan kerja, salah satunya sangat dekat dengan Sihar. Dan Sihar geram. Pada saat kejadian Laila sedang berada di sana untuk suatu pekerjaan.

Sebagai bentuk empati (dan bentuk-bentuk lainnya), Laila menghubungi Yasmin untuk mencari bantuan, sahabatnya yang bekerja sebagai pengacara dan kerap terlibat dalam tim lembaga bantuan hukum untuk orang-orang miskin dan tertindas. Pada saat itulah Yasmin meneruskan kasus ini pada Saman, yang kini mengelola sebuah LSM.

The First Place Laila and Sihar Met
Saman, Laila, Sihar, dan Yasmin dipertemukan di sana. Seolah berusaha menegakkan keadilan yang bahkan terasa tabu. Masing-masing memiliki latar belakang berbeda. Laila dulunya lugu. Yasmin dulunya wanita culun dan lurus-lurus saja. Sihar dulunya suami yang jujur. Dan Saman dulunya seorang Pater, pemuka agama yang taat.

Tentu saja buku ini lebih banyak menceritakan Saman. Bahkan satu bab sendiri sebanyak 78 halaman menceritakan kehidupannya semenjak orok hingga menjadi Saman yang mengelola sebuah LSM. Dia lulus kuliah di bidang teologi dan menjadi Pater. Ya, dia dulu taat ibadah. Bahkan dia sempat berkeinginan pergi ke daerah terpencil untuk menyebarkan agama. Sungguh mulia.

***

Sudah kubilang, banyak konflik yang terjadi dalam buku ini; sosial, politik, agama, dan seks. Sepertinya terlalu banyak untuk buku setipis ini. Memang. Tidak semua konfliknya terselesaikan dengan tuntas. Tapi setiap konflik itu sungguh mengena, seperti sebuah tamparan.

“Inilah wewejangnya: Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit.” —Shakuntala (hal. 123)

Bahasa yang digunakan lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Mengingat buku ini ditulis pada tahun 1997, bisa dibilang cukup berani untuk menimbulkan konfrontasi di kalangan elit politik pada masa itu. Karya pertama penulis ini menjadi pemenang sayembara Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1998.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang menurutku kurang pas dalam buku ini. Inkonsistensi sudut pandang utama yang terdapat di dalamnya. Secara garis besar, buku ini bersudut pandang orang ketiga. Pada awal-awal cerita terdapat sedikit sudut pandang orang pertama, unek-unek si Laila ini, dicetak miring. Tetapi makin ke sana, tidak ada lagi yang bercetak miring tetapi masih sudut pandang orang pertama. Baiklah, ini kan Roman Terbaik DKJ 1998.

Central Park
Lalu tentang jalan cerita yang sepertinya tidak menemui satu garis lurus. Ada dua bagian. Bagian pertama adalah tentang cerita yang sudah kusebutkan sebelumnya, yang sepertinya mulus-mulus saja sebelum menemui bagian kedua. Bagian surat-menyurat antara Saman dan Yasmin. Walaupun memang menceritakan tentang Saman, tetapi konfliknya terbelah. Oke, ini kan Roman Terbaik DKJ 1998.

Dan satu unek-unek yang menyenangkan (guilty pleasure, bisa dibilang) adalah kevulgaran buku ini. Tiap menemukannya, hal-hal semacam itu dideskripsikan secara gamblang, terang-terangan, yang mungkin sebagian orang menyukainya (seperti aku, meh) tapi sebagian lain bisa jadi membuangnya jauh-jauh (seperti temanku). Terlihat bertolak belakang dengan kultur budaya yang ada di Indonesia. Aku sempat berpikir ini buku roman terjemahan. Tapi, ini kan Roman Terbaik DKJ 1998.

Cukup. Intinya aku sudah membaca Roman Terbaik DKJ 1998. Bisa dibilang aku menikmati buku ini, yah, walaupun memang karena kevulgarannya yang membuatku terus membaca hingga halaman terakhir. Jangan salahkan aku.

“Apapun alasannya, betapapun telah panjang penyebabnya, kekerasan yang kita lakukan akan dibilang teror liar. Dan kita akan dianggap kriminal atau subversif. Sementara kekerasan yang dilakukan polisi dan tentara disebut tindakan legal demi keamanan atau pembangunan. Itulah yang dinamakan hukum.” (hal. 173)

Ulasan ini untuk tantangan Lucky No.15 Reading Challenge kategori One Word Only!

Tidak ada komentar :

Posting Komentar