06 April 2017

Makna Reputasi dari Thirteen Reasons Why

Edited by Me

Setiap menyelesaikan sebuah buku, pasti ada satu atau dua adegan cerita di dalamnya yang terngiang dalam kepala dan tidak pernah pudar sampai beberapa waktu ke depan. Dari adegan cerita tersebut, kemudian tercipta gambaran kesan tentang keseluruhan isi cerita. Dan dalam karya Jas Asher ini, kesan utama yang termaktub dalam memori adalah reputasi. Kenapa reputasi? Karena dari awal sampai akhir cerita, penulis amat lihai membuat tokoh utama dalam bukunya sebagai korban dari reputasi yang tidak sengaja dibuat oleh orang-orang di sekitarnya, atau di buku ini adalah teman-teman di sekolahnya. Yah, bagaimana kalau kita membahas reputasi terlebih dahulu? Bagaimana reputasi mengubah strata kehidupan seseorang dan memengaruhinya secara keseluruhan?

Dikutip dari KBBI Daring, reputasi diartikan perbuatan dan sebagainya sebagai sebab mendapat nama baik, atau bisa juga disebut dengan nama baik. Dari pengertiannya saja reputasi atau nama baik berhubungan erat dengan kesuksesan. Orang-orang mengecap mereka yang sukses adalah mereka yang juga memiliki reputasi. Bila reputasinya buruk, kesuksesannya pun akan tercoreng. Bisa dibilang, reputasi adalah salah satu faktor kesuksesan seseorang.

Reputasi buatmu memikirkan apa kata orang lain terhadapmu

Petuah lama mengatakan untuk tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan terhadapmu. Hal ini benar apabila kamu merasa bahwa apa yang dikatakan orang lain tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu. Namun, jangan langsung membabi buta untuk mengabaikan apa kata orang lain. Faktanya adalah bahwa yang menilai dirimu adalah orang lain dan merekalah yang akan menentukan bagaimana reputasimu. Apalagi pada era ini yang reputasi tidak hanya dinilai dari kehidupan di luar jaringan (offline), tetapi juga di dalam jaringan (online). Kalimat mutiaranya bukan lagi apa yang kamu baca mencerminkan dirimu tetapi apa yang kamu kicaukan di media sosialmu mencerminkan dirimu.

Sejak bergabung dan menjadi member Blogger Buku Indonesia pada 2014, aku berpedoman untuk selalu menulis ulasan buku dari buku yang sudah kubaca. Walaupun beberapa waktu terakhir ini aku selalu utamakan mengulas buku-buku yang lebih menarik dan ada sisi lain yang harus dibahasnya, aku tetap berusaha untuk mengulas setiap buku yang kubaca. Aku tetap berusaha konsisten. Dan dalam sebuah ulasan yang kubaca di Forbes, menjadi konsisten merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan reputasi. Aku tidak bilang bahwa aku pengulas buku terbaik dan tersohor, masih banyak teman-teman pengulas yang lebih rajin mengulas buku sembari bagi-bagi buku kepada para pembaca setianya. Yang kutekankan di sini adalah setiap orang mengetahui namaku, mereka akan mengingatku sebagai pengulas buku. Membuat orang lain melakukan hal itu adalah usaha untuk membangun reputasi. (Benar, kan? Reputasi adalah tentang bagaimana kamu dinilai dan dianggap oleh orang lain.)

Hal inilah yang terjadi pada Hannah Baker. Dan seperti aku yang dinilai orang lain bagaimana diriku, Hannah yang merupakan murid pindahan juga melakukan hal-hal yang (seharusnya) membangun reputasinya di sekolah barunya. Namun, ternyata langkah pertama yang dilakukannya keliru, walaupun porsinya sedikit. Bak bola salju yang gelinding menuruni bukit, kekeliruan kecil itu berdampak pada kekeliruan-kekeliruan lain yang mengubah penilaian orang lain terhadapnya. Reputasinya hancur. Kalau sudah begitu, lebih baik ia pergi saja. Dan ternyata kepergiannya itu menyisakan sesuatu: sebuah kotak sepatu berisi tujuh kaset yang harus disimak orang-orang yang telah membolasaljukan kekeliruan kecilnya itu.

Judul : Thirteen Reasons Why
Pengarang : Jay Asher
Penerbit : Matahati
Jumlah Halaman : 287
Tahun : 2011
ISBN : 602962557 - 8
Format : Paperback
Dibaca : 2 April 2017
Rating : ★★★

"Peraturannya sangat mudah. Cuma ada dua. Pertama: Kalian mendengarkan. Kedua: Kalian mengedarkan. Semoga tak satu pun yang mudah bagi kalian." (hal. 14)

Clay Jensen tidak akan pernah tahu kematian Hannah Baker begitu mempengaruhinya sampai ia mendapati paket misterius di teras rumahnya sepulang sekolah. Paket berisi tujuh kaset itu membuat Clay bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Gadis yang sepertinya tidak memiliki masalah sama sekali. Gadis yang membuat dadanya berdegup kencang ketika berdekatan dengannya. Gadis yang disukainya. Pada akhirnya, Clay tahu kalau ia sudah amat terlambat untuk berkenalan lebih jauh dengan Hannah. Dan ia begitu marah dengan apa yang diceritakan Hannah pada kasetnya. Alasan-alasan yang sebenarnya tidak menjadi masalah besar bila saja tidak datang bertubi-tubi pada gadis itu. Alasan-alasan bak bola salju yang semakin bertambah besar dan membahayakan.

***

Seusai membaca ini, aku membatin: Oh, Hannah, kenapa kau begitu terburu-buru mengambil keputusan hanya karena ketiga belas alasan itu? Tapi kemudian pandanganku tentang Hannah yang begitu mudah mengambil keputusan sedikit teratasi dengan hal yang disampaikan oleh penulis pada sesi wawancara yang diselipkan pada akhir buku ini. Jay bilang bahwa alasan-alasan yang terdapat pada buku ini terinspirasi dari pengalaman istri dan rekan-rekannya semasa SMA ditambah pengalamannya sendiri. Setelah kupikirkan lagi, masalah-masalah yang menimpa Hannah yang kemudian menjadi alasan-alasan memang biasa terjadi di sekolah-sekolah menengah atas pada umumnya. Namun, yang menjadi penting adalah betapa masalah-masalah tersebut menimpa satu orang saja; semacam akumulasi. Hal ini mengubah pemikiranku bahwa hidup dengan begitu banyak masalah seperti yang menimpa Hannah lebih baik disudahi saja.

Pada sesi wawancara tersebut juga penulis mengatakan bahwa buku yang ditulisnya ini adalah novel suspense. Menurutku, buku berkarakter suspense akan membuat pembacanya buru-buru ingin menyelesaikan semuanya. Seperti ketika kamu berada di wahana roller coaster yang siap-siap meluncur menuruni rel, kamu akan melakukan segala hal agar kamu segera menyudahinya tetapi juga ada sensasi yang tak bisa dijabarkan. Ketegangan yang terjadi bukan hanya karena melihat hantu, bisa juga karena kamu berada pada detik-detik menjelang kecelakaan atau hal lainnya. Buku ini bisa dibilang kurang menonjolkan hal ini. Aku tahu bahwa aku merasa begitu ingin mengetahui apa saja alasan-alasan yang membuat Hannah melakukan hal itu. Tapi pada saat yang bersamaan, aku merasa sulit konsentrasi dengan gaya narasi yang dipilih penulis: dua narasi sudut pandang orang pertama pada waktu yang sama.

Bayangkan ketika kamu sedang mendengar musik yang merupakan lagu favoritmu menggunakan headset lalu tiba-tiba seorang teman menghampirimu dan mengajakmu mengobrol. Bagaimana kamu bisa fokus pada salah satunya? Pilihannya hanya ada dua: (1) kamu harus bicara jujur kepada temanmu bahwa kamu sedang tidak ingin diajak bicara atau (2) kamu mematikan perangkat yang memutar musik favoritmu itu. Tapi aku tidak memiliki pilihan semacam itu ketika membaca buku ini. Aku sedikit kesulitan mengikuti alurnya dan aku harus membelah imajinasiku pada omongan Hannah dan pada apa yang dirasakan Clay saat mendengar omongan Hannah. Walaupun mungkin, bagi sebagian orang ini adalah cara penyampaian cerita yang unik dan intens.

Thirteen Reasons Why (2017)

Terlepas dari itu, aku menyukai aura kuno yang dihadirkan pada buku ini. Diceritakan dengan latar masa kini namun terlihat vintage membuat ceritanya bak kisah klasik zaman 80-an yang baru. Aku mungkin akan menyimpan ke dalam memori adegan ketika Clay meminjam tanpa izin walkman milik Tony yang ia ambil di mobil jadul-nya, sebuah Mustang tua! Tentu Clay harus meminjam karena di rumahnya hanya ada stereo milik ayahnya yang tidak bisa dibawa ke mana-mana. Dan jangan lupakan kaset rekamannya! Terasa begitu kuno! Dan penulis mengakui bahwa semua kekunoan ini memang disengaja. Ia berharap dengan begitu maka buku ini akan bertahan lama. Pilihan yang tepat.

Tema yang begitu krusial tentang depresi dan bunuh diri yang dibawakan dengan cara berbeda juga membuat buku ini dikagumi. Terbukti hingga kini buku ini masih diminati, apalagi web series-nya baru saja dirilis beberapa waktu lalu oleh Netflix. Aku pun harus meminjam buku ini kepada teman sekaligus penerjemah buku ini. Ia mewanti-wanti untuk dijaga baik-baik dan dikembalikan segera setelah membacanya. Aku menurutinya karena memang versi terjemahannya sudah amat langka. Sebenarnya, dulu aku sempat punya. Entah jin dari mana yang menghasutku, aku memberikan buku ini sebagai kado kepada mantan calon pacarku kala kuliah dan aku sama sekali belum membacanya. Tahu buku ini begitu langka, aku sangat ingin memutar ulang waktu dan memberikan buku yang lain saja kepadanya.

Pada saat menulis ulasan ini, statusku adalah baru menonton satu dari tiga belas episode web series yang diproduseri oleh Selena Gomez. Aku sangat menyukainya dan merasa harus menuntaskan sisa episodenya. Kesukaanku juga karena episode pertama mirip dengan bukunya walaupun tidak sampai ke detail-detailnya. Dan, aku berharap tidak begitu melenceng dari bukunya walaupun banyak artikel yang menggangguku dan bilang web series-nya lebih baik ketimbang bukunya. Oh, itu sangat mengganggu! Dan bagi siapa saja yang sedang atau malah sudah menyelesaikan musim pertama web series-nya, aku harap juga membaca bukunya. Bila tidak mau membaca demi aku, bacalah demi Hannah atau demi si imut Clay. 

"Meski ada orang yang tampaknya tak acuh terhadap komentar kita atau tidak terlalu terpengaruh oleh suatu rumor, kita tidak mungkin tahu segala hal yang terjadi pada kehidupan orang lain itu, dan mungkin saja kita malah menambah rasa sakitnya. Orang-orang dapat menimbulkan dampak pada kehidupan orang lain, dan itu tak bisa disangkal." (hal. 284)

Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Young Adult Literature.

6 komentar :

  1. Dulu waktu lihat status "finished" Mas Raafi di goodreads baca buku ini, saya mau nanya beli di mana bukunya. Tapi ternyata disini dibahas juga kalau bukunya dipinjami penerjemahnya langsung :D bagaimanapun juga terimakasih sudah diulas...jadi bisa tau garis besar dan kesan pembaca tentang ceritanya.
    Nb: ternyata istilah "mantan calon pacar" itu beredar luas ya? Dulu jaman SMA, teman saya ada yang pake istilah itu juga. Nostalgia XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. Begitulah. Buku versi terjemahannya sudah benar-benar langka. Dan sepertinya istilah "mantan calon pacar" sudah beredar di mana-mana. Terima kasih telah berkunjung ya.

      Hapus
  2. Coba saja kamu sebutkan 2 dari tiga belas alasan yang membuat Hannah Baker mengakhiri hidupnya, saya mungkin akan mendapatkan gambaran apa-apa yang menjadi sumbu keputusannya itu. Di sini saya sama sekali tidak bisa meraba apa masalahnya. Dan untuk sementara saya mengatakan pilihan Hannah konyol. Hahaha. Semoga buku ini dicetak ulang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tanpa menyebutkannya pun kamu sudah bertanya-tanya tentang gambaran apa yang sebenarnya terjadi pada Hannah. Semoga ada yang mau mencetak ulang bukunya mengingat penerbit yang menerbitkan versi terjemahannya ini sudah tidak beroperasi lagi.

      Hapus
  3. Jadi semakin penasaran dengan versi bukunya setelah hari ini 2x membaca ulasannya di 2 blog yang berbeda.

    BalasHapus
  4. Wah jadi raafi pengen punya reputasi sebagai pengulas buku? Well, Hana salut sama konsistensimu dalam menulis review. Keep up the good work Raafi :)
    Syg sekali ya bukunya malah dikasih *puk puk.. beli yg bahasa inggris aja 13 reason whynya, somehow buku dgn cover bahasa ing dpt like lebih banyak klo di post di IG. Heheheh

    BalasHapus