16 April 2017

Betapa Sulitnya Baca Nonfiksi + Giveaway

Edited by Me

Bulan ini adalah bulan bahagia bagi BBI karena memperingati hari jadinya yang ke-6 sekaligus bulan yang paling malas bagiku untuk menulis blog. Sangat disayangkan karena draf untuk menyemarakkan ulang tahun BBI sudah dibuat namun pada hari yang telah ditentukan draf tersebut tidak terselesaikan. Yah, siapa yang mau terjangkiti blogging slump? Bahkan beberapa artikel yang menguraikan langkah-langkah untuk keluar dari blogging slump masih kurang masuk akal untuk dilakukan. Sebagai upaya penyembuhan, aku coba angkat topik bacaan nonfiksi yang sudah beberapa waktu lalu dirumuskan dan memberikan opiniku tentangnya. Karena aku tahu, aku tidak begitu menyukai bacaan nonfiksi. Setidaknya, belum. Dan itu mungkin akan menjadi problem jika tidak dicari tahu lebih jauh. Pertanyaan utama yang sering berlalu lalang: apakah aku harus gemar membaca nonfiksi atau tetap dengan apa yang kusuka saja? Bila begitu, kenapa aku begitu sulit membaca nonfiksi? Apakah kamu memiliki pertanyaan yang sama untuk dirimu sendiri? Bila ya, ikuti terus jabaran berikut.

Mari mulai dengan pengertian nonfiksi. Bacaan nonfiksi adalah jenis bacaan yang bukan fiksi dan berdasarkan kenyataan. Dalam hal ini, seseorang yang menuliskan nonfiksi memiliki tanggung jawab atas kebenaran atau akurasi dari peristiwa, orang, dan/atau informasi yang disajikan. Nonfiksi tidak hanya buku-buku yang bersifat informatif dan persuasif yang biasanya disertai pembuktian ilmiah maupun opini dari pengarangnya. Jurnal-jurnal, fotografi, dan artikel-artikel ilmiah pada majalah atau media daring juga termasuk bagian dari nonfiksi bila memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Setelah mengetahui hal ini, barulah mengerti bahwa bacaan nonfiksi ternyata luas dan bisa mengangkat topik apa saja.

Dalam sebuah forum, seseorang bertanya tentang perbandingan antara membaca fiksi dan nonfiksi dengan meminta penjelasan manfaatnya. Bagiku pertanyaan ini sungguh dasar, seperti kau menanyakan manfaat air putih padahal kau sudah kehausan. Yah, tapi tidak ada salahnya juga untuk bertanya. Laiknya sebuah forum, beragam jawaban muncul namun hampir semuanya mengerucut pada keduanya yang tidak bisa dibandingkan dan sama-sama memberikan manfaat. Bahwa fiksi akan memberikan hiburan dan membangun imajinasi dan nonfiksi akan memberikan informasi dan membangun ilmu pengetahuan.

Membaca nonfiksi bukanlah sebuah kegemaran melainkan kebutuhan

Aku sempat mengajukan pertanyaan melalui media sosial Twitter tentang kesukaan membaca buku nonfiksi dan meminta alasannya. Dari lebih dari 60 respons, 79% di antara mereka mengaku biasa saja terhadap bacaan nonfiksi. Sisanya terbagi menjadi amat menyukai nonfiksi (14%) dan sama sekali tidak suka nonfiksi (7%). Alasannya pun kurang lebih sama: tergantung kebutuhan. Di antara dari mereka membaca nonfiksi untuk riset proyek mereka dan hal-hal yang sesuai dengan minat mereka. Dilihat dari alasan-alasan yang diberikan tersebut, aku jadi berpikir bahwa membaca nonfiksi bukanlah sebuah bentuk kegemaran melainkan kebutuhan. Contohnya, bila kamu akan menulis sebuah naskah dengan memerlukan pendalaman karakter yang memiliki penyakit tertentu, kamu akan coba untuk membaca buku-buku yang berkenaan dengan penyakit tersebut. Atau bila kamu akan melakukan perjalanan ke sebuah kota, kamu akan membaca buku atau artikel seputar kota tersebut; makanan khas di sana, tempat wisata favorit, hingga hal-hal yang harus dipatuhi di sana. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa bacaan nonfiksi adalah sumber informasi dan ilmu pengetahuan.


Aku juga bertanya pada teman-teman grup WhatsApp yang mayoritas di dalamnya pembaca fiksi tentang kans membaca nonfiksi. Satu orang menjawab bahwa membaca buku-buku realistic fiction pun sebenarnya mengandung nonfiksi sehingga ia mengaku juga membaca nonfiksi. Yang lainnya malah kilas balik ke zaman sekolah di mana buku pelajaran yang termasuk nonfiksi memiliki banyak pengetahuan namun terasa kering dan membuat ia enggan membaca nonfiksi. Hal yang sama juga diutarakan teman yang lainnya, bahwa sejak sekolah sampai kuliah sudah dicekoki berbagai macam bacaan nonfiksi yang tumpah-ruah. Tapi bukan berarti nggak baca juga, karena ia hingga kini masih membaca nonfiksi yang lebih ke pengetahuan umum dan yang berhubungan dengan pekerjaan, pungkasnya. Alasan-alasan tersebut semakin meyakinkanku bahwa membaca nonfiksi hanya sebuah kebutuhan.

Dalam ulasan buku "Steal Like An Artist", aku menyebutkan bahwa aku jarang baca buku nonfiksi. Setelah memikirkan dalam-dalam, aku memiliki alasan kenapa aku menjadi begitu sulit membaca nonfiksi. Alasan yang pertama adalah aku sudah terbiasa membaca fiksi dan memang begitulah faktanya. Titik. Kedua, topik yang diangkat dalam bacaan nonfiksi terlalu berat, padahal aku membaca buku bertujuan untuk hiburan alias melepaskan diri dari segala macam hal "berat" yang sudah terserak di dunia nyata. Alasan terakhir, ya belum saatnya saja karena bila sudah mendapatkan jenis bacaan nonfiksi yang sesuai, aku sudah pasti akan membacanya. Pasti ada slah ketika topik bacaan nonfiksi itu amat sangat kamu ingin tahu dan kamu tertarik terhadapnya. Buktinya, aku juga baca beberapa buku nonfiksi dan beberapa di antaranya sudah kuulas pada blog ini dengan label non-fiction.

Jadi, sudah dapat dipahami bahwa ternyata tidak masalah kamu tidak begitu banyak membaca nonfiksi. Hal itu bisa jadi karena kamu memang tidak perlu banyak-banyak membacanya. Atau mungkin kamu memang belum memiliki topik yang perlu kamu cari tahu dalam bacaan nonfiksi. Dan ingat, majalah serta jurnal-jurnal dan artikel-artikel ilmiah yang tersebar di internet pun termasuk bacaan nonfiksi. Bila kamu suka membacanya, berarti kamu juga suka membaca nonfiksi. Dalam pekerjaanku sekarang, aku juga dituntut untuk melakukan hal tersebut. Bahkan ada beberapa situs web yang sudah ditandai dan termasuk laman paling sering kubuka. Di antaranya adalah lifehack.org dan psychologytoday.com. Namun, apakah aku lantas termasuk orang yang gemar membaca nonfiksi? Kuakui tidak. Dan sepertinya, jadi penggemar bacaan nonfiksi itu sedikit tidak keren. :p

Sumber

Giveaway!

Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang bacaan nonfiksi. Apakah kamu menyukainya? Atau kamu sama denganku yang juga membaca artikel-artikel di media daring? Silakan jelaskan pada kolom komentar dan kamu berkesempatan menjadi salah satu dari dua orang yang berhak mendapatkan dua paket buku kolpri sebagai berikut:

Boxset Rene Suhardono berisi "Your Job Is Not Your Career" & "Career Snippet"
dan
"The Introvert Advantage" karya Marti Olsen Laney

Keduanya nonfiksi, lho! Jangan lupa sertakan juga kota domisilimu pada kolom komentar di bawah ini. Aku menunggu pendapatmu sampai 25 April 2017 dan semoga beruntung! Oh ya, terakhir: Selamat ulang tahun yang ke-6 untuk Bebi dan teman-teman member Blogger Buku Indonesia!


Update!

Aku senang dengan respons teman-teman dan komentarnya seputar buku nonfiksi. Tidak hanya asal berkomentar tetapi juga memberikan pendapat yang mendalam tentang genre buku ini. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah meluangkan waktunya untuk ikut berpartisipasi dalam givewaway kali ini. Saatnya memilih dua orang yang beruntung untuk mendapatkan buku-buku yang sudah kujanjikan di atas. Dan keduanya adalah:

Luksie Wirpiyance (Tangerang Selatan)
yang mendapatkan
Boxset Rene Suhardono berisi "Your Job Is Not Your Career" & "Career Snippet"
dan
Resita Putri (Denpasar)
yang mendapatkan
"The Introvert Advantage" karya Marti Olsen Laney

Silakan untuk segera konfirmasi data diri (nama + alamat + nomor telepon) via e-mail oughmybooks[at]gmail[dot]com dengan subjek "Giveaway Nonfiksi". Aku tunggu!

26 komentar :

  1. Saya juga baca artikel atau jurnal di internet, tapi itu hanya untuk referensi, cari info, atau hanya kebutuhan tugas kulah tertentu sih. Tapi ada beberapa jenis bacaan nonfiksi yang saya baca meskipun terhitung jarang, seperti buku motivasi, buku cara mendapatkan beasiswa dan bagaimana survive di sana, dan koran. Eh koran masuk bacaan non fiksi nggak ya? Hihi tapi masih suka baca koran dan majalah-majalah buat film.

    Tapi kalo misal dalam bentuk buku ya itu kak, motivational books sama cerita-cerita beasiswa di luar negeri. Hihi, siapa tahu dengan membaca, saya juga akan bisa bahkan lebih seperti mereka, sesederhana itu sih hihi.


    Salam dr Purwokerto.

    BalasHapus
  2. Aku pembaca fiksi dan nonfiksi :) Malah akhir-akhir ini lagi lebih banyak baca nonfiksi ketimbang fiksi. Aku lagi SUKA banget ngepoin para founder startup, aku suka baca-baca artikel pengembangan diri, aku lagi suka baca-baca buku dan artikel parenting.

    Aku nggak setuju kalau dibilang pembaca nonfiksi itu nggak keren. Aku bisa mengembangkan diri sebegini rupa karena nonfiksi. Aku belajar bagaimana mengelola situs web portal dari buku, aku belajar marketing dari buku, belajar keuangan dari buku dll. Kalau mau dapat ilmu banyak, ya dapatnya sih dari buku nonfiksi.

    Menurutku sih, kalau ada yang nggak suka baca nonfiksi karena mereka belum menemukan saja yang menarik untuk dibaca dan belum butuh. Banyak buku nonfiksi beredar sekarang, dan semuanya sudah dikemas cantik.

    Tapi, aku juga masih suka baca buku fiksi sebagai hiburan dan selingan. Banyak pengetahuan yang juga bisa aku dapatkan dari fiksi. Aku juga pilih-pilih buku pastinya. Nggak maksain mesti update yang kekinian. Yang menurut selera aja.

    So, ini soal kebutuhan dan selera aja sih, nonfiksi dan fiksi. Dan buatku, kedua tipe pembaca buku ini sama-sama KEREN. Baca buku itu selalu keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh. Lupa domisili.

      Salam dari Jogja 🙋

      Hapus
  3. Saya setuju aja membaca non fiksi itu kebutuhan... saya toh juga kadang kurang bersemangat klo baca non fiksi, ya memang karena udah terbiasa sama novel karena kan itu cerita yg gaya bahasanya mengalir sehingga kita bisa nyaman. Dan cerita kan punya babaknya masing masing. Memang kebanyakan orang menganggap non fiksi itu membosankan dan istilahnya itu 'garing' karena isinya mengenai realita dan juga karena faktor penulisannya yg biasanya terbilang datar. Contohnya, waktu sekolah kita selalu bergelut dgn buku pelajaran. Tidak jarang anak2 sekolah pun merasa bosan dan malas jika disuruh membaca buku pelajaran sekaligus menyerapinya. Yah, begitulah kenyataannya walaupun sebenarnya tidak semua buku non fiksi itu membosankan dan hambar di lidah hehehe. Menurut saya, itu tergantung masing2 individu. Meskipun garing tapi justru sangat bermanfaat bagi kita. Anehnya saya lebih suka baca artikel soalnya lebih singkat nggak bertelo telo ^^. Yah itu aja sekian dari saya takutnya malah kepanjangan. Makasih ya kak udah ngadain giveaway ini ^^

    Adinda Putri Citradewi
    Gresik, Jatim

    BalasHapus
  4. Kalo aku sih sebenernya lumayan suka baca non-fik, tapi nggak diresensi karena... sejujurnya.. ngeresensi non-fik itu SUSAH. hahahaha. Aku suka baca buku tentang saham sama sejarah. Tapi untuk yang terakhir ini, sebenernya aku lebih suka nonton dokumenternya National Geographic sih. Kalau ada gambar bergeraknya sepertinya lebih mudah dicerna.

    Nana
    Jakarta

    BalasHapus
  5. Saya sependapat betapa sulitnya membaca buku non fiksi, dari sederetan buku di raku bukuku sebagian besar fiksi. Sebenarnya saya menyukai non fiksi juga, tetapi hanya tema tertentu; seperti buku inspirasi atau biografi. Kalaupun membaca tema non fiksi lainnya, seperti tips atau trik membuat sesuatu, saya lebih suka mencari artikel singkatnya yang banyak bertebaran di internet. Terkadang non fiksi, dibaca karena kebutuhan..sedangkan saya kebanyak membaca untuk kesenangan..he..he..

    Ikuatan yaa..pengin dapet bukunya "your job is not your career" kebetulan lagi cari buku tema seperti ini untuk urusan kerjaan. Wish me luck

    Yanti
    Depok

    BalasHapus
  6. Sukses Menjalin Relasi - Dale Carnegie, Dasyatnya Pikiran Bawah Sadar - Andri Hakim, Laa Tahinuu Walaa Tahzanuu - Mahmud asy-Syafrowi, Saya Pengen Jadi Creative Director - Budiman Hakim, Tips Meresensi Di Koran - N. Mursidi, Rahasia Efek Khusus Photoshop - Mohammad Jeprie, Amalan Pembuka Rezeki - Haris Priyatna & Lisdy Rahayu, Oh My Goodness - Yoris Sebastian, Sila Ke-6: Kreatif Sampai Mati - Wahyu Aditya, Teori Kesusatraan - Rene Wellek & Austin Warren, The Life- Changing Magic of Tidying up - Marie Kondo.

    Saya sengaja menuliskan buku-buku nonfiksi yang saya punya. Saya kerap membeli buku-buku nonfiski jika memang ada tujuan yang sedang saya inginkan. Makanya beragam tema yang akhirnya saya punya. Ketika ingin mengenal sastra, saya beli Teori Kesusatraan. Ketika butuh santapan rohani, saya pilih buku-buku bernafas islam. Ketika saya butuh mempelajari Photoshop, saya beli buku tutorialnya. Selama ini, buku-buku di atas saya pertahankan sebab masih sesekali saya buka dan baca. Dan untuk menyeimbangkan bacaan juga. Sepemahaman saya, buku-buku nonfiksi memberikan manfaat langsung dibandingkan fiksi untuk kegunaan sehari-hari. Yah, meski pun saya menyukai fiksi, saya masih sadar, saya hidup di dunia nyata dan buku-buku penunjang di dunia nyata tidak boleh diabaikan pula. Begitu!

    twitter: @adindilla
    email: hapudincreative@gmail.com

    BalasHapus
  7. Saya agak tertohok saat membaca bagian penggemar bacaan nonfiksi terlihat kurang keren. Semacam "how come??" lalu saya teringat kalau standar kekerenan seseorang itu tidak baku, sudah mirip kayak standar cantik dan ganteng :D
    Beberapa pengajar yang terlibat penelitian sering membaca bacaan nonfiksi semisal jurnal atau buku-buku yang jadi reference sebagai dasar mereka berpijak. Kalau diamati juga, bacaan "nyantainya" juga bacaan yang ga bisa disebut ringan, misal ada yang suka baca buku di luar bidangnya dan ada juga yang suka baca memoar. Nah kalau ditanya apakah mereka keren? Menurut saya, iya ..mereka masih terlihat keren. Mereka jadi bisa diajak ngobrol atau ditanyai tentang hal lain di luar bidangnya. Ketika menulis blog ringan sehari-hari pun kadang membahas buku nonfiksi yang dibaca dikaitkan dengan bidang mereka, semacam "Eh selama ini yang saya pakai begini, di bidang lain ternyata digunakan seperti itu," dsb. Dimana letak kerennya? Perenungan mereka tentang membandingkan apa yang telah dikuasai dengan informasi lain yang baru itulah yang sering mengingatkan, "Eh ilmu itu terus berkembang lho." Menurut saya ini keren. Kalau ditanya apa saya sering baca informasi lewat daring? Iya sering. Apa saya mempercayainya? Tidak selalu. Baca informasi online itu kayak cemilan. Perlu dipilah mana yang sehat mana yang tidak, biar tidak stress :D

    Saya juga setuju kalau dibilang bacaan nonfiksi itu kebutuhan. Kebutuhan untuk sekolah, untuk menyusun hasil riset, dan memperkaya keterampilan diri. Sayangnya, seringkali kita sering lupa kalau tiap hari kita itu masih sering riset walau terlihat kecil atau tidak dapat dirasakan dimana risetnya (tanpa publikasi). Misalnya mengecek apakah makanan dan minuman kita (bagi yang muslim) sudah halal? Apa jaminannya? Sudah pernah mengecek komposisinya saat beli? Kalau makan di tempat makan sudah seringkah kita bertanya apakah yang dijual halal? Kalau rekomendasi teman apa ia dapat dipercaya? dsb. Jadi, memang benar bacaan nonfiksi merupakan kebutuhan juga bagi saya. Apalagi kalau saya tiba-tiba tidak paham dengan suatu hal dan tidak ada orang dekat saya yang lebih paham, maka 'larinya' juga ke bacaan nonfiksi. Kalau ditanya 'apakah tidak susah mencerna nonfiksi?' maka jawabannya adalah tergantung topik apa yang dibaca. Kalau saya sedang pengen tahu jawaban terkait topik-topik tertentu, akan ada upaya ingin segera memahami. Kalau tidak ada hubungannya dengan apa yang saya cari tentu akan sangat berat sekali untuk dibaca. Nah malahan akhir-akhir ini saya terancam tidak bisa menikmati fiksi. Mungkin novel fantasi yang menarik masih bisa dipahami, tapi kalau ada novel fiksi non fantasy yang mengandung banyak pertanyaan bagi saya malah membuat saya tertekan. Ini semacam...apa saya mulai gagal memahami fiksi?

    Alfath
    Sidoarjo

    BalasHapus
  8. Kalu aku pribadi, memang belum bisa 'mencintai' non fiksi layaknya aku mencintai fiksi. Akan tetapi, terkadang, saat ada kebutuhan kuliah untuk mengerjakan tugas tertentu, karya non fiksi menjadi menarik. Apalagi, seperti yang sudah pernah aku ungkapkan sebelumnya, banyak sekali topik perkuliahanku yang menarik untuk dikaji. Yap. Aku masih penasaran dengan HAM, gender, lingkungan, globalisasi, identitas, dan masalah transnasional lainnya bermain. Sehingga, aku tidak ingin menutup diri dari kemungkinan aku membaca non fiksi. Tapi ya enggak sekarang juga sih. I means, prosesnya pasti nggak gampang. Proses penyelesaian aku membaca The Lexus and The Olive Tree-nya Thomas L. Friedman saja memakan waktu yang cukup lama. Bahkan hampir tiga bulan lebih. Jadi, apa ya. Di satu sisi aku penasaran. tapi di sisi lainnya, aku malas membacanya :P. Mungkin karena ada pemikiran kalau non fiksi pasti berupa teori yang dipaparkan. Jadinya, berasa berat saat membacanya. Itu menurutku pribadi sih Pada intinya, aku masih mencoba untuk membacanya. Tapi ya itu, aku cari yang topiknya aku suka. Aku nggak mau memaksakan literally semua non fiksi kubaca.

    Salam,
    Puji P. Rahayu
    prahayu(dot)pr(at)gmail(dot)com.
    Depok.

    BalasHapus
  9. Bacaan nonfiksi itu keren. Sekeren bacaan fiksi. Hanya beda peruntukan saja. Nonfi lebih aplikatif, kalau fiksi biasanya reflektif. Sama-sama bermanfaat.

    Saya sendiri lebih kenal nonfi ketimbang fiksi. Karena saya orangnya gak gaul dan gak punya banyak teman, saya biasanya tau sesuatu dari bacaan dulu. Terus akibat lingkungan dan atmosfer akademik, saya makin tenggelam di bacaan nonfi, terutama referensi Islam.

    Akhir tahun 2015 saya tertarik buat blog buku. Tapi kebanyakan yang saya lihat, para blogger mereview bacaan fiksi. Nah saya gimana? Bacaannya nonfi semua. Lagian model baca buku nonfi kan gak mesti berurutan dari halaman pengantar sampai akhir (spt fiks), melainkan by need. Dan bacaan nonfi itu gak habis sekali duduk. Satu kalimat bisa bikin mikir berhari-hari.

    Ya sudah, mulai dari sana saya banyak melahap fiksi (biar kayak orang-orang). Dan asyik tuh baca fiksi. Lumayan nambah sense bahasa. Karena sialnya stl baca fiksi saya malah punya niat bikin fiksi juga hu hu... ��

    Mulya Saadi
    Yogyakarta

    BalasHapus
  10. 'Semua orang menyadari ketika mereka tumbuh, "saya bukan orang spesial". Mereka bermain dan memenangkan game atau judi, membaca buku fiksi, menonton film. Mereka menenggelamkan diri dalam hal-hal murah yang mereka anggap penting.'

    Yah ini lah realita ;)

    Sama sih, saya escapist, saya menikmati buku fiksi, game dan film/anime/tv series. Kenapa? Karena pekerjaan saya membutuhkan banyak bacaan non fiksi. Tidak perlu disebutkan sih itu apa, tapi saya juga beli buku-buku non fiksi yang banyak dibaca khalayak, misalnya buku-buku Karen Armstrong. Saya sudah baca bukunya sejak saya SMA, lalu saya paling suka baca ensiklopedia sejak SD karena sudah terpengaruh National Geography walau jelas saya tidak mampu membeli Ensiklopedia jadi saya menjadi anggota perpustakaan untuk membaca non fiksi. Yah, buku non-fiksi biasanya lebih mahal dari buki fiksi sih :p

    Dan setiap hari saya selalu baca berita dan artikel seperti kak Raafi. Kadangkala jika dunia terlalu menyakitkan untuk diikuti lewat media massa yang ingin mengarahkan ke opini yang diinginkan entitas yang membayar mereka, saya akan berhenti, main game, baca buku dan komik atau baca buku nonfiksi yang terlihat netral.

    Yah, non-fiksi itu kebutuhan kok. Bisa seperti kura-kura dalam tempurung klo gak nyentuh nonfiksi :3

    Saya nulis komen tak beratur gini ya, maklum sambil nonton NCIS, lagi seru-serunya ;)

    Salam dari Malang
    Mide

    BalasHapus
  11. Berhubung masih kuliah, jadi suka gak suka tetep harus sering banyak baca buku non-fiksi. Kalau masalah suka enggak suka sama buku non-fiksi, tergantung topiknya. Berhubung sekarang jadi anak sastra, ya lebih seneng baca buku-buku sastra entah terkait teori, kritik, kebahasaan atau kesenian yang masih berhubungan seperti teater. Selain sebagai refrensi belajar juga suka aja baca-baca yang kaya gitu. Kadang juga sering baca tentang pengembangan diri, motovasi dan psikologi.

    Domisili: Surakarta

    BalasHapus
  12. Hai kak, salam kenal ya dari Bandung! Terima kasih atas kesempatan GA nya..

    Saya lagi hamil nih entah kenapa sekarang lebih suka baca buku nonfiksi, dulu suka baca buku fiksi kayak novel chicklit atau teenlit sejak SMA. Mungkin ketularan Suami jadi sekarang gemar baca buku nonfiksi, misalnya tentang parenting, kesehatan, psikologi, buku agama yang ilmiah dan religius, juga buku motivasi seperti karya nya Austin Kleon yang Steal like an Artist sama Show Your Work! Secara saya dan Suami itu passionable couple jadi suka banget buku pembakar semangat dalam meraih passion hehe...

    Kalau baca info daring, hampir setiap hari sih, sebagai update info juga sebagai hiburan, tapi semuanya harus di filter dan ga sembarangan di share, harus bijak ya jaman sekarang hehe.

    BalasHapus
  13. Halo, Aku Ami, domisili Bukittinggi.

    Kalau boleh jujur, aku baru tertarik baca buku nonfiksi sejak 2015, tahun 2016 aku bisa dibilang hampir tidak pernah baca nonfiksi. Namun, sejak awal tahun ini, aku mulai membuka diri terhadap nonfiksi. Alasannya, aku sadar bahwa aku tidak bisa menggantungkan asupan pengetahuan pada buku-buku fiksi saja. Lagipula, pekerjaanku mengharuskanku untuk terbiasa dengan teks ilmiah, entah itu yang benar-benar saintifik atau yang populer.

    Aku juga membaca artikel daring untuk informasi kilat mengenai topik tertentu, biasanya tentang psikologi populer atau tutorial komputer. Kelemahannya, pengetahuan yang kuperoleh bersifat dangkal, tidak sedalam jika aku membacanya langsung dari buku. Karena itulah, untuk topik pengembangan diri, sejarah, catatan perjalanan, aku lebih suka membaca nonfiksi. Suka atau tidaknya tergantung pada bukunya, apakah dikemas secara menarik atau tidak, dan sedalam apa pengetahuan yang sudah kumiliki terkait topik tersebut. Steal Like An Artist dan Show Your Work karya Austin Kleon sama So Good They Can't Ignore You (terj. Don't Follow Your Passion karya Cal Newport) adalah beberapa judul nonfiksi yang benar-benar kusuka, meski berawal dari kebutuhan dan rasa ingin tahu.

    Apapun bukunya, seorang pembaca itu keren. Namun, kalau dikaji secara realistis, buku nonfiksi diperlukan untuk memperdalam pengetahuan dan memperkaya wawasan. Isinya juga bisa diaplikasikan secara langsung dan lebih luas, berbeda dengan fiksi yang penerapannya lebih kepada refleksi, perubahan/perluasan cara memandang hidup, cara berempati, dan tentunya, cara menulis fiksi.

    Salam,
    Lailaturrahmi

    BalasHapus
  14. Halo Kakak, namaku Luksie, domisili Tangerang Selatan.

    Sejujurnya bingung kalau ditanya apakah aku suka buku non-fiksi atau tidak karena belum banyak buku non-fiksi yang aku baca. Buku non-fiksi yang paling banyak aku baca adalah biografi. Dulu aku pertama kali baca buku biografi dari sebuah band asal Inggris favoritku: McFly. Aku sangat menyukainya karena bahasanya sangat ringan. Sebelumnya, aku tidak pernah membaca biografi karena selama ini yang aku temukan kebanyakan gaya bahasanya terlalu formal dan sulit dimengerti, apalagi bagi kaum muda. Namun setelah aku mulai sering explore di Goodreads, ternyata banyak juga buku biografi yang bagus dan tidak bertele-tele. Bahkan banyak yang menjadi best-seller. Contohnya, biografi Steve Jobs yang ditulis oleh Walter Isaacson. Walaupun banyak istilah tentang teknologi/komputer di dalamnya, Isaacson menuliskannya dengan sangat baik dan mudah diserap oleh pembaca.

    Aku juga suka membaca artikel di media daring, seperti medium.com, bigthink.com, dan berbagai portal berita. Selain untuk menambah pengetahuan, aku membaca artikel untuk melatih kemampuan reading (khusus artikel bahasa Inggris) :D

    Rasanya berbeda saat membaca buku non-fiksi. Aku bisa mendapatkan banyak inspirasi dan motivasi. Apalagi semakin bertambah usia, sepertinya butuh lebih banyak bacaan non-fiksi untuk menghadapi dunia yang benar-benar 'nyata' hehe

    BalasHapus
  15. Menurutku membaca buku nonfiksi itu seperti belajar sejarah karena pembaca diajak untuk menyelami cerita masa lalu seseorang, terkadang bikin panasaran tetapi juga bikin bosan terutama buku-buku non fiksi yg super tebal dan konfliknya terlalu biasa serta bahasanya yg terlalu tinggi. Aku tipe pembaca yg netral untuk membaca buku nonfiksi.. Bisa dibilang, aku membaca buku non fiksi jika aku butuh info. Klo kesukaan pada buku nonfiksi itu tergantung buku nya tentang apa dulu.. Aku lebih menyukai buku nonfiksi yg menceritakan pengalaman hidup seseorang, semisal buku traveling dan buku ber-lebel based on true story.

    Aku berpikir bahwa pembaca buku non-fik justru keren.. Dia bisa belajar dari sejarah dan pengalaman nyata hidup orang lain. Buku nonfiksi menambah wawasan karena memberikan info yg tidak diketahui banyak orang. Paling kerennya lagi, si pembaca buku tsb betah membaca sampai akhir tanpa menjadikan buku tsb sebagai bantal tidur atau tidak mengantuk sama sekali.

    Bety Kusumawardhani/Surakarta

    BalasHapus
  16. Menurutku nonfiksi bisa jadi kebutuhan dan kesenangan juga, soalnya di luar komunitas kita aku justru banyak ketemu pembaca nonfiksi. Dan nonfiksi yang bukan buku teks kan sifatnya beda sama buku teks yang bisa dijadikan rujukan akademis, jadi sebenernya bisa panjang ya ngebahas ini.
    Contoh lain misalnya aku suka nih sama penulis A (penulis fiksi), trus aku sudah baca semua karyanya, trus aku penasaran dengan kisah hidupnya atau pandangan hidupnya, aku jadi baca biografi atau memoarnya, itu nonfiksi juga. Tapi ada juga orang yg ga tertarik meski penggemarnya, ternyata dia lebih tertarik latar kisahnya trus baca sejarah. Tapi buat orang yg ga suka sejarah, ya pilih hisfic aja. Jadi agak personal sih ya preferensi ini. Menurutku pasti ada genre(?bidang?) nonfiksi tertentu yang orang bisa butuh & suka, biasanya berhubungan dengan bidang pekerjaan atau hobi, cuma mungkin sebagian belum ketemu aja. Belum ketemu yang temanya pas dan gaya penulisannya asik. Bahkan pecinta sastra pun sekali waktu akan baca teori sastra.
    Mood juga ngefek, jangankan baca yg bukan genrenya, baca genre favorit aja kalo lagi ga mood kan males, moodnya baca yg itu2 aja.

    Oiya, satu lagi, curiosity. Kurasa itu salah satu hal yang bisa bikin orang baca apa aja.

    BalasHapus
  17. hmm nonfiksi ya. secara umum saya tidak membenci nonfiksi. tetapi juga tidak terlalu fanatik juga. nonfiksi ataupun fiksi sesungguhnya juga tergantung selera sih. fiksi seheboh apapun kalau tidak selera juga tidak akan dibaca. pun demikian dengan nonfiksi yang biasa saja tetapi temanya menarik minat saya juga pasti dibaca kok. toh membaca nonfiksi juga bisa dijadikan sebagai bahan refreshing setelah terkungkung dalam lembah fiksi yang penuh dengan hayalan. hahahaha.

    salam dari blitar :)

    BalasHapus
  18. menurut saya, membaca nonfiksi lebih dipengaruhi rasa ingin tahu akan sesuatu sih. karena saya sendiri cenderung akan membaca nonfiksi kalau itu berkaitan sama hal-hal yang memang saya ingin pelajari. tapi ada juga saat-saat di mana saya memilih membaca buku nonfiksi yang tidak ada kaitannya dengan hal-hal yang saya pelajari. misalnya, kalau ada buku tentang binatang-binatang unik di dunia, ataupun misalnya rahasia bintang di langit, saya akan pilih untuk bahan bacaan. karena saya cenderung penasaran dengan hal-hal seperti itu. yah, intinya, kalau nonfiksi memiliki judul atau membahas hal yang menarik, saya cenderung ingin membacanya. nonfiksi, menyenangkan atau tidaknya, menurut saya tergantung sama pembacanya sih. kalau pembaca memang suka topiknya, menyenangkan. kalau tidak, jelas tidak. semua kembali ke selera pembaca.

    Resita Putri
    Denpasar, Bali.

    BalasHapus
  19. Aku jarang baca nonfiksi kak. Masalahnya emang lebih memanfaatkan artikel-artikel acak di internet (makanya isi kepalaku acak juga wkwkw). Tapi tidak menutup diri dari nonfiksi. Sejauh ini nonfiksi yang bisa aku tamatkan itu eksplorasi Korea dan makanannya haha 😂 abis ya, dari sd tontonanku itu sih, jadi rasa penasarannya lebih tinggi dari nonfiksi tema lain.

    Oh, terus ada lagi nonfiksi tentang obat-obatan sama resep masak. Dua nonfiksi ini tipe nonfiksi yang dengan cepatnya nyampe halaman belakang. Karena bacanya terlalu kilat (alias liat gambar sama nama jenisnya doang dan tibalah di kesimpulan, oh gitu, pokoknya ada banyak jenis, udah wkwk)

    Terus aku ngarepnya punya buku nonfiksi yang detail tentang psikologi. Kayaknya menarik aja bisa baca versi bukunya, ketimbang lewat internet.

    Untuk minggu ini, aku lagi baca nonfiksi tentang yoga. Itu juga karena dipaksa ortu buat nyari tentang yoga. Sejauh openingnya keren sih kak. Ada yang isinya begini:

    (di buku itu pake gambar, makanya aku lumayan penasaran. Bukunya Pujiastuti Sindhu)

    Chakra Keenam - Ajna.
    Lokasi: carotid plexus, dahi, pusat otak
    Elemen: cahaya
    Warna: indigo
    Orientasi: refleksi diri, intuisi, konsentasi
    Kualitas: intuisi, imajinasi
    Kelemahan: ilusi

    Lalu ada chakra ketiga juga lumayan bikin penasaran, letaknya di ulu hati, unsur api, kualitas: kemauan keras, kelemahan: rasa malu
    Dan masih ada beberapa chakra lagi.

    Jadi intinya aku gak nolak kok dikasih nonfiksi, tapi mungkin agak lama selesai bacanya karena kebiasaan nyari penjelasan lain lewat internet.

    Salam dari Pekanbaru :D
    twitter: @fira_yoopies

    BalasHapus
  20. Sebenarnya sebelum aku hobi baca fiksi, aku lebih suka baca non fiksi. Itu ketika aku masih duduk di bangku SMP. Selain jadi hobi,buku non fiksi juga dipake sbg referensi tugas sekolah kan?
    Sejauh ini buku-buku non fiksi yang sering kubaca ya tentang kesehatan,tanaman herbal, kultur jepang,kecerdasan artifisial, dan tentang bisnis atau enterpreneur gitu. Dan kalo ga sempet datang ke perpus ya cukup baca artikel. Biasanya tentang psikologi dan ilmu-ilmu lain yang menurutku wajib untuk digali lebih dalam.

    Satu pendapatku, buku fiksi apapun genre-nya, nggak akan bisa berdiri tanpa bantuan buku non fiksi, tanpa bantuan riset.

    Arum Wahyuningtyas
    Pati, Jawa Tengah

    BalasHapus
  21. Aku cukup suka baca buku nonfiksi selama tema yang diangkat menarik minatku, seperti sejarah atau buku-buku self help/how to. Apalagi kalau gaya bahasanya nggak terlalu berat dan nggak bertele-tele. Intinya (menurutku) baik fiksi atau nonfiksi, keduanya tetap menarik asal penyajiannya (terutama bahasa) sederhana dan mudah dipahami.

    Ratih Cahaya
    Depok, Jawa Barat

    BalasHapus
  22. Selama ini aku tidak pernah memusingkan buku apa yang kubaca karena aku seperti punya kelainan membaca apa saja. Ketika SD aku membaca kamus Inggris bergambar, ketika SMP aku membaca ensiklopedia, dan sekarang aku keranjingan membaca berita di Line Today bahkan membaca chat grup meskipun aku tau itu tidak penting. Aku sendiri tidak pernah menobatkan diriku sebagai salah satu dari penggemar jenis bacaan tersebut, fiksi dan nonfiksi. Bagiku buku apapun pasti punya keunikan, manfaat, dan alasannya sendiri untuk dibaca. Untuk nonfiksi, aku biasa membacanya karena kebutuhan ataupun keinginan. Dulu sebelum memutuskan masuk ke jurusan hukum, salah satu hal yang menjadi pertimbangan adalah sanggupkah aku membaca buku-buku perkuliahan dengan narasinya yang membosankan. Pembuatan makalah sebagai tugas kuliah yang mengharuskan mencari referensi dari buku terkait, menjadi salah satu alasan yang mengharuskanku membaca nonfiksi. Belum lagi jika harus presentasi, maka harus mengisi kepala dengan banyak informasi. Jika akan mid-term dan final, maka wajib hukumnya membaca buku-buku perkuliahan yang notabenenya adalah nonfiksi, semembosankan apapun buku tersebut. Buku nonfiksi yang kubaca karena keinginan, pasti berkaitan dengan topik yang kuminati, seperti astronomi, biologi, dan sejarah. Ah ya, buku sejarah bagiku adalah buku nonfiksi yang mempunyai rasa seperti fiksi. Teks buku sejarah yang naratif, membuatnya terlihat seperti cerita fiksi dengan latar zaman dahulu. Baik itu zaman purba, zaman penjajahan, maupun zaman2 lainnya. Intinya imajinasiku terbentuk kala membaca buku sejarah. Dari segi ekonomi, buku nonfiksi memang jauh lebih mahal dari buku fiksi seperti novel, tapi hal itu sebanding dengan pemakaiannya yang sepanjang masa. Jika koleksi pribadi berupa novel perlu lebih diproteksi agar lembarannya tidak menguning, maka buku nonfiksi tidak perlu demikian. Karena semakin menguning dan leceknya lembaran kertas disebabkan termakan usia dan pemakaian yang terus-menerus, maka semakin "keramat" dan antiklah buku tersebut. Bahkan jika bukunya merupakan koleksi langka, bisa dibeli dengan harga mahal di toko buku seken.
    Pembaca buku nonfiksi memang tidak keren. Bahkan cenderung geek dan nerdy. Tapi itulah yang menjadikan mereka unik. Seperti katanya Kurt Cobain:
    They laught at me because i'm different I laugh at them because the're all the same

    Rina Fitri
    Banda Aceh, Aceh

    BalasHapus
  23. jujur, aku jarang baca buku nonfiksi. kalau bukan karena keadaan mendesak (semisal butuh buat mengerjakan tugas atau memang harus direview), sebisa mungkin aku gak membacanya. kecuali kalo tema bukunya memang aku suka sih. semisal kayak di blog misteri enigma gitu yang membahas misteri2 yang di luar nalar atau tentang seluk-beluk bunga di seluruh dunia, baru deh aku mau baca. selain itu aku masih belum tertarik dan lebih suka baca artikel aja hehe.

    Eni Lestari
    Malang

    BalasHapus
  24. saya suka baca nonfiksi terutama jika tema nya tentang motivasi, atau pengalaman hidup seseorang dan oh iya, buku-buku yang berhubungan dengan pekerjaan saya tentunya... hehe. Memang jika dibandingkan antara timbunan buku fiksi dan nonfiksi di rak, jelas buku nonfiksi bahkan tidak sampai satu baris dari rak.... haha. tapi yah, begitu lah. Bagi saya membaca nonfiksi memang diperlukan terutama saat kita butuh asupan ide, motivasi atau bahkan kalimat-kalimat penyemangat. Memang terkadang fiksi juga bisa menyajikan hal-hal demikian, tapi adakalanya kita jauuuhh lebih tertarik jika hal-hal tersebut memang bersumber dari kehidupan nyata... hehe. Jadi, meski cukup sulit untuk menuntaskannya tapi tetap harus dibaca.... haha.

    Terima kasih giveawaynya ^^

    Nova | Medan

    BalasHapus
  25. Hana suka baca nonfiksi tp lbh srg dlm.bentuk artikel,bukan buku. Nah, temen lelaki Hana ada yg suka baca nonfiksi. Kalau cek.goodreadsnya isinya didominasi nonfiksi dan jumlah buku yg dia baca lbh banyak dibanding hana. Dia bilang dia suka nonfiksi karena terstruktur dan bahkan di daftar isi ada kerangkanya. Tapi kalau baca fiksi. Dia berasa ketemu jaring laba2, banyak yg mesti dia inget dan menurutnya terlalu banyak hal yg tidak beraturan perlu diingat. Jawaban dia menarik sih since Hana ga pernah liat perbedaan fiksi dan non fiksi seperti dia :)

    BalasHapus