11 Februari 2017

Ulasan Buku: Before Us

Judul : Before Us
Pengarang : Robin Wijaya
Penerbit : GagasMedia
Tahun : 2012
Dibaca : 10 Februari 2017
Rating : ★★★

"Rasa tak harus selalu diterjemahkan. Biar ia membimbing kita menuju tempat yang semestinya, tanpa perlu kita tanya." (hal. 80)

Entah ini sebuah pepatah atau kutipan atau hanya pendapatku saja, bahwa membaca buku adalah membaca peradaban dan zaman. Ketika kamu membaca buku-buku klasik yang sudah bertahun-tahun lalu dibuat, kamu akan tahu sedikit-banyak tentang apa yang diceritakan pada masa itu. Begitupun ketika kamu membaca buku-buku yang sudah beberapa tahun diterbitkan. Seperti buku ini yang terbit pada 2012 dan menceritakan tentang dua sahabat yang suka menonton film VCD dan mereka saling berkirim pesan melalui BlackBerry Messenger. Aku berpikir, ya, mungkin saja pada masa itu aplikasi berkirim pesan BBM sangat populer dan orang-orang masih mencari bahan tontonan melalui kepingan VCD. Tahun-tahun berlalu, dan kini sudah banyak yang menonton film via streaming dan juga meninggalkan aplikasi BBM. Zaman berubah. Orang-orang berubah.

***

Tidak mudah bagi Agil Aditama menjadi seorang suami setelah sahabatnya kembali. Hampir bertahun-tahun tidak berkontak, Radith Satya yang baru pulang dari Korea menemuinya untuk melepas rindu. Saat itu, Agil masih dalam masa persiapan pernikahan bersama Ranti, temannya dan Radith sejak zaman kuliah. Agil sedang sibuk-sibuknya mencicil satu demi satu keperluan pernikahannya dengan Ranti. Namun, kehadiran Radith membuatnya merasa tidak keruan. Memori masa lalunya bersama Radith kembali mengemuka, saat-saat menyenangkan ketika menonton film bersama melalui VCD dan yang lainnya. Juga memori tentang perasaannya terhadap Radith.

Tentu beralasan mengapa Agil begitu risau ketika Radith datang. Radith adalah masa lalunya. Sahabat yang lebih dari sekadar sahabat. Mereka saling bergantung. Mereka saling terikat. Bahkan ketika mereka satu sama lain memperkenalkan pacarnya, masing-masing dari mereka merasa cemburu. Perasaan yang muncul bukan secara tiba-tiba. Mereka seperti memupuknya, namun terlalu banyak sehingga berlebihan. Namun, apa perasaan itu salah? Bagaimana dengan masa depan Agil dan istrinya?

***

Dengan ini, berarti aku sudah membaca dua buku bertema gay berturut-turut setelah "Simon vs The Homosapiens Agenda". Ada dua kutub tentang cerita dua sejoli sesama jenis yang saling jatuh cinta: (1) mereka memberitahukannya kepada dunia atau (2) mereka menyembunyikannya rapat-rapat agar dunia tidak tahu. Untuk cerita Simon dan Blue adalah opsi yang pertama. Namun, sayangnya, untuk cerita Agil dan Radith adalah opsi kedua. Dan kamu tahu kan, kalau sudah ditutup-tutupi secara rapat? Orang tersebut akan membual ribuan alasan agar segalanya terlihat baik-baik saja. Itu yang menarik pada buku ini.

Yang menarik dari kisah ini adalah Agil dan Radith sudah tahu perasaannya masing-masing sejak masa kuliah dahulu. Jadi, semacam cinta lama bersemi kembali. Saat mereka bertemu kembali, banyak perasaan yang kembali hadir di antara mereka. Seperti hal yang mereka tinggalkan namun belum mereka selesaikan. Saat-saat itulah yang menjadi konflik utama buku ini. Mereka yang tahu saling mencintai satu sama lain berhadapan dengan realitas masing-masing. Agil yang sudah mempunyai istri dan Radith yang datang membawa masa lalu.

"Yang aku tahu, cinta bukan kesepakatan antara dua orang yang setuju untuk saling jatuh cinta. Cinta bukan transaksi. Love is naturally comes when you are with someone eventhough you don't want it." (hal. 173)

Coba perhatikan tagline buku ini, "Cinta di Belakang". Bisa dibilang, kisahnya memang tentang perselingkuhan. Agil yang sudah memiliki Ranti selingkuh dengan Radith. Pernahkah kamu membayangkan ini: kamu seorang wanita dan memiliki seorang suami yang kamu cintai. Namun, pada suatu ketika kamu merasa gelagat suamimu mencurigakan dan kamu tetap memendam perasaanmu karena kamu berpikir suamimu sedang banyak kerjaan atau alasan yang bisa kamu terima yang lain. Namun, setelah kamu korek-korek lebih jauh lagi, suamimu ternyata selingkuh. Itu satu hal yang menyakitkan untukmu, tentu saja. Tapi, bagaimana kalau selingkuhannya itu adalah seorang pria yang sudah lama kamu kenal? Aku yakin itu amat-sangat-mencengangkan-menyakitkan.

Edited by Me

Buku ini seperti menyampaikan pendapat bahwa cinta adalah hal yang berbahaya. Kamu harus benar-benar menyelesaikan masa lalumu sebelum memulainya dengan yang lain. Dan itu sebuah ultimatum karena, jika tidak, semuanya mungkin akan berantakan. Kamu seperti menemukan barang berhargamu yang sudah lama disimpan di gudang. Pilihannya adalah: (1) kamu membawanya kembali ke kamar padahal barang itu sudah berdebu dan tak elok lagi atau (2) kamu membuangnya, membakarnya, agar tak terlihat lagi. Pilihan yang sulit, memang. Tapi, bukankah hidup adalah tentang pilihan? Kamu harus memilih satu untuk mengorbankan yang satunya lagi.

Bagi sebagian orang, cerita seperti ini mungkin belum pernah diketahui oleh mereka. Termasuk penulis dan penerbit, sehingga dibuatlah buku ini. Namun, aku pernah membacanya di sebuah buku yang—sayangnya—itu merupakan kisah nyata. Dan kisahnya sama persis seperti kisah Agil, Ranti, dan Radith dalam versi singkat. Aku juga sudah membaca "Brokeback Mountain" yang kisahnya sama namun lebih tragis. Aku juga sempat menonton film keluaran Jerman yang juga setipe dengan kisah mereka. Bukan lagi hal baru bagiku. Saking banyaknya cerita seperti, aku jadi bertanya-tanya, apakah tuntutan sosial memang seberpengaruh itu sehingga mengalahi kebebasan manusianya sendiri. Kamu sudah dewasa, kamu harus menikah. Kalau tidak, orang-orang akan membicarakanmu, menggunjingmu. Kamu tetap menikah padahal hatimu berkata lain. Dan, tragisnya lagi, semua itu berakhir dengan stigma bahwa pria yang selingkuh seperti ini dikarenakan hasrat dan nafsu birahi saja.

Terlepas dari itu, aku menyukai bagaimana penulis menyampaikan semuanya. Tidak berlebihan yang menuju menjijikkan—bagi sebagian orang—namun tetap jelas dan konkret. Walaupun ada beberapa kejadian yang tidak masuk logika yang mungkin terlewati oleh penulis dan editor, aku tetap menikmati buku ini. Dan, memang, aku selalu menikmati kisah romantis dari setiap buku terbitan penerbit ini. Seharusnya, aku membaca buku-buku terbitan penerbit ini saja bila ingin membaca kisah-kisah melodramatis.

"Kadang kita harus memilih bukan karena kita menginginkan pilihan tersebut. Tapi hanya karena, dengan pilihan tersebut segalanya akan lebih baik." (hal. 280)

Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Contemporary Romance.

2 komentar :

  1. Saya suka buku ini karena karakter tokoh utamanya. Bukan membela sih ya, hanya saja buku ini memanusiakan manusia meski sebenarnya ada yang tidak benar. Toh, kalau tidak salah endingnya cukup adil.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmmm. Ending yang cukup adil ya. Menurutku itu ending yang berat. 😢

      Hapus