30 Desember 2016

Kenangan Tentang SCOOP Agar Tidak Lekas Pudar

Edited by Me
Hal yang umum jika setiap orang yang kautemui selalu bertanya tentang apa dan di mana kau bekerja. Tidak terkecuali aku. Selama sembilan bulan ini menjawab apa dan di mana aku bekerja, hampir selama itu jugalah aku menerima respons, "Oh, SCOOP yang jual aksesoris itu? Yang di mal itu?" Saat itulah aku tahu bahwa aku akan selalu mendapat respons yang sama dari sebagian besar orang yang bertanya hal yang sama pula. Diawali tawa, dengan antusias, aku menjabarkan tempat kerjaku. "Hahaha. Bukan. SCOOP yang ini merupakan aplikasi untuk membaca buku, majalah, dan koran secara digital melalui gawai." Lalu, aku akan panjang lebar menjelaskan secara detail tentangnya. Dan ketika aku sudah merasa SCOOP sebagai anak kandung bandel yang selalu merajuk ingin selalu diperhatikan, aku harus merelakannya. Menyerahkannya kepada mereka yang aku yakin akan betul-betul memperlakukannya sama dengan yang kulakukan.

Sebenarnya tidak terpikir akan menulis tentang apa untuk yang satu ini. Sepertinya hanya sebuah ego sesaat yang sulit untuk dilepaskan dan menjadi semacam keharusan untuk menuliskannya agar kenangan yang terjadi selama sembilan bulan ini tidak pudar. Jadi, mungkin aku akan memberikan hal-hal menarik tentang SCOOP menurut versiku sendiri. Sudah siap untuk bukaan kartuku?

1. Lokasi kantor identik dengan angka 7

Aku tidak mengetahui sejarah SCOOP yang terdahulu. SCOOP yang kutahu berlokasi di Wisma 77 Tower 2, Jalan Letjend. S. Parman Kavling 77. SCOOP berada di lantai 17 dari 26 lantai pada gedung itu. Konyolnya, itu membuatku berpikir bahwa mungkin aku yang lahir tanggal 7 akan cocok dengan pekerjaan yang ditawarkan di SCOOP. Tapi, tunggu dulu. Bila jeli dan tahu sejarah, kamu akan tahu bahwa Letjend. S. Parman lahir pada 1918 dan meninggal pada 1965 yang berarti saat umur beliau 47 tahun. Ada angka 7 juga kan! Apakah ini sebuah kebetulan?

Tahukah kamu bahwa 7 merupakan angka favorit semua orang? Survei yang dilakukan oleh Alex Bellos membuktikan hal itu. Ia mencoba bertanya secara kepada khalayak secara daring tentang angka favorit mereka, hampir 4.000 orang menjawab angka 7. Namun, itu beralasan karena jika disuruh pilih sembarang angka dari 1 sampai 10, 7 adalah satu-satunya angka yang tidak bisa dibagi atau dikalikan dengan angka dalam rentang 1-10 lainnya. Angka 7 terasa cukup acak. Itu membuatnya berbeda dari yang lain, lebih spesial. Jadi, lumrah saja bila aku menyatakan poin pertama ini. Karena aku—seperti juga orang lain—melihat bahwa angka 7 itu spesial.

2. Tidak tahan untuk bisa akses semua buku

Keuntunganku sebagai kurator konten buku adalah diberikan akses seluas-luasnya buku-buku yang ada di sana. Sebagai seorang kutu buku, hal ini menjadi semacam surga dunia. Mengetahui isi buku tanpa harus membelinya. Apalagi bisa membaca buku-buku sampai tuntas dan bisa menjadi bahan ulasan di blog. Kutu buku mana yang akan tahan bila setiap minggu dihadapkan pada buku-buku baru terbit yang bisa diakses sepuasnya? Aku sih tidak!

3. Mulai terbiasa baca digital

Hal ini terjadi secara signifikan. Setelah melihat rak buku e-book-ku di Goodreads, tahun ini saja aku membaca lebih dari 10 buku digital. Tahun lalu? Boro-boro! Enaknya baca digital adalah aku hanya perlu membaca melalui gawai yang kubawa. Beberapa waktu lalu, aku pergi ke Bekasi menggunakan krl dan sengaja tidak membawa apa pun selain dompet dan gawai. Selama perjalanan, aku dengan bangga dan sedikit pamer, membuka gawaiku untuk membaca buku di saat yang lain tidak melakukan apa-apa. Walaupun memang bikin mata cepat lelah, baca digital masih bisa jadi pilihan untukku. Aku mengakalinya dengan membaca buku kumpulan puisi yang tidak tebal dan tidak penuh pada setiap halamannya.

***

Sejujurnya, masih banyak hal menarik lain tentang SCOOP. Tapi mungkin tiga poin di atas bisa menjadi yang paling menarik. Banyak hal yang kupelajari di SCOOP. Menulis, berinteraksi dengan orang lain, mengejar target, dan yang paling kusuka: berkomunitas. Walaupun masih belum terlalu kentara hasilnya, setidaknya aku bisa memberi tahu apa itu SCOOP kepada teman-teman pencinta buku. Terutama keunggulan dan kemudahannya. Dan aku merasa bahwa SCOOP dan tetek bengeknya akan selalu jadi memori yang tak terlupakan. Terutama pemandangannya, dari Pasar Tanah Abang, puncak Monas yang berwarna emas, kubah Masjid Istiqlal, Thamrin City, hingga gedung-gedung pencakar langit di selatan Jakarta. Bahkan aku masih ingat ketika pertama kali menginjakkan kali di lantai 17.

Dari Mas Yance

Selamat tinggal 2016! Sebuah pengalaman berharga bisa menjadi bagian dari keluarga SCOOP. Selanjutnya, seperti kata Marianne Williamson dalam bukunya berjudul "Everyday Grace: Having Hope, Finding Forgiveness And Making Miracles": every ending is a new beginning. Jadi, sampai jumpa pada permulaan berikutnya!

2 komentar :

  1. Ya ampun ada yang ketuker sama scoop gift shop. Pantes waktu pertama ketemu, loe nanya gue tahu scoop apa ngga 😂😂 *puk puk Raafi.. Tapi gue juga sama kok. Masih banyak orang yg ga tahu majalah swa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. Mostly begitu sih, Hana. Wah, masa sih nggak tahu majalah SWA? Ckckck.

      Hapus