30 Mei 2016

Menyoal Hari Buku Nasional

Selamat Hari Buku Nasional
Minat Baca di Indonesia

Minggu (15/5), Goodreads Indonesia mengadakan acara bertajuk "Book Blind Date". Setiap peserta yang datang diharuskan membawa buku yang dibungkus kertas cokelat dan memberikan hint singkat pada paket bukunya. Pada saat acara, peserta diberikan kesempatan untuk memilih paket buku sesuai hint yang paling menarik mereka. Setelah itu, peserta diminta menjelaskan paket buku yang didapat dan apakah buku itu jodoh mereka atau bukan, seperti blind date. Acara yang dihadiri sekitar 20 orang itu diselingi dengan games berhadiah buku dan voucher e-book.

Acara tersebut sebenarnya ajang tukar buku seperti yang biasa diadakan oleh komunitas tersebut hanya saja dengan konsep berbeda. Tujuannya untuk mempertemukan para pembaca juga membuat acara seru yang tidak hanya berbasis daring, tetapi juga kopi darat.

"Book Blind Date" merupakan satu dari banyaknya kegiatan komunitas buku untuk mengentaskan minat baca di Indonesia yang rendah. Sejak 2012, Indonesia ditakut-takuti survei yang menyatakan minat baca masyarakatnya rendah, lebih rendah dari India dan Thailand. Rata-rata lama membaca buku masyarakat Indonesia hanya 6 jam per minggu (Kompas 15/9/2015). Selain itu survey juga menunjukkan bahwa hanya 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca serius dengan rata-rata kurang dari satu buku yang dibaca per tahun (UNESCO 2012).

Angka-angka tersebut sungguh memprihatinkan mengingat penerbit buku dan bentuk literasi lain di Indonesia begitu gencar menerbitkan buku. Gramedia Pustaka Utama, misalnya, bisa menerbitkan lebih dari 20 buku setiap bulan dalam beragam genre. Tapi adakah yang membaca buku-buku tersebut?

Masih Ada Harapan

Sebenarnya, acara-acara semacam "Book Blind Date" sudah banyak digalakkan. Entah dalam bentuk dan konsep apa pun, komunitas dan pegiat literasi selalu memiliki cara agar komunitas dan orang-orang di sekitarnya mengenal buku dengan sisipan tugas menyebarkan virus membaca. Tidak hanya komunitas. Beberapa waktu lalu, pagelaran bazar buku asal Malaysia, Big Bad Wolf Books, mampir ke Indonesia. Tujuan utama penyelenggaraan bazar buku impor dengan harga miring ini adalah menjual buku dengan harga murah untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Jangan lupakan Kuda Pustaka dan Perahu Pustaka yang dengan cuma-cuma memberikan akses membaca kepada masyarakat desa terpencil. Mulia betul.

Bila dilihat dari berbagai macam cara yang dilakukan, membaca sebenarnya masih bisa digalakkan. Dengan pendekatan-pendekatan yang taktis, seperti berbagai macam acara dan bazar buku, diharapkan dapat menggaet masyarakat Indonesia mengenal buku dan mulai mencoba membaca. Setelah seperti itu, siapa yang tidak optimis kelak membaca menjadi budaya di Indonesia? Tentu saja itu berbanding lurus dengan minat membeli buku yang turut meningkat.

Selamat Hari Buku Nasional

Tunggu, aku sangsi kamu tahu bahwa setiap 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Pada 1980, Menteri Pendidikan Nasional, Abdul Malik Fajar, meresmikan Perpustakaan Nasional dan pada saat yang sama mencanangkan tanggal tersebut sebagai Hari Buku Nasional. Ide awalnya datang dari segolongan pecinta buku dengan membawa panji-panji meningkatkan minat baca Indonesia dan angka jual buku.

Paradigma bahwa membaca itu mahal dan membosankan bisa diberantas dengan berbagai cara. Dan hari ini, yakinlah para pegiat buku masih terus melakukan terobosan agar membaca menjadi budaya yang mengilhami. Pemerintah sudah mencanangkan kegiatan 15 menit membaca sebelum beraktivitas. Selain itu, dengan derasnya arus teknologi informasi dan komunikasi, buku digital sudah mulai menjadi gaya hidup untuk para penggemar baca bermobilitas tinggi.

Selamat Hari Buku Nasional, Indonesiaku! Semua berharap gemar membaca di Indonesia menjadi budaya.


Pembenaran: artikel ini dibuat pada 17 Mei 2016 oleh saya sendiri dan sudah dinaikkan di Kompasiana dan SCOOP Berita.

Artikel ini untuk Posting Bareng BBI 2016 bulan Mei bertema #BBIHariBukuNasional.

10 komentar :

  1. Masih ada harapan ... aku yakin itu



    ayo timbun buku!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pengikutmu, wahai Suhu DIon! *menghamba* *apa sih*

      Hapus
  2. iya masih ada harapan - salah satunya dengan membatasi acara sinteron dan variety show ngga jelas di TV, dan membuka akses lebih luas lagi ke dunia buku. Jadi, orang Indonesia nggak ada pilihan hiburan lain selain baca buku hihihi!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan. Bukan membatasi. Aku kelak kalau punya keluarga, nggak akan menyediakan televisi di rumah. Jadi, langsung dari akarnya. Banyak media hiburan lain selain televisi kok Mba. Ehehe.

      Hapus
    2. waduh itu ekstrim banget sihh hahaha karna menurutku tv itu masih ada kegunaannya kok. beberapa acara anak di tv keren2 juga sebenernya. kayak acara art attack di nickelodeon, atau acara dinosaurus dan binatang2 di natgeo wild, itu anakku suka bangeeet... tapi ya itu, sebagai org tua memang harus involve untuk mengawasi tontonannya..

      Hapus
  3. Persoalan yang paling mencolok memang masalah harga buku. Orang tidak keberatan ngangsur untuk gadget atau yang lain, tapi untuk beli buku pun rasanya sulit. Parameter hidup ngehits adalah seberapa canggih dan mahal gadget, bukan dari berapa banyak buku yang sudah dibaca. Masih ingat kan meme "nyentil" tentang BBW?

    Eniwei aku lebih tertarik dengan surveynya Kompas yang waktu baca orang Indonesia rata2 hanya 6 jam seminggu. Seperti parameternya apa dan berapa banyak partisipan yang mengisi kuesioner. Untuk data Unesco, aku rasa sebenarnya sudah tidak relevan mengingat itu data 2012. Siapa tahu di 2016 ada peningkatan (atau malah penurunan?)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes. Aku coba cari info survey yang teranyar tentang minat baca ini. Tapi memang yang paling baru itu pada tahun tersebut saja. Nanti bakal kukulik lagi deh. Btw, kalau ngangsur untuk gadget sekaligus buat beli buku, bakal lebih ngehits dong yha. Hahaha.

      Hapus
  4. Setuju, masih ada harapan, aku percaya banget, lama-lama nanti juga pada melek, belum ketemu serunya aja :)

    BalasHapus
  5. makasih artikelnya :) jadi optimis :D
    btw pernah baca artikel WSJ the rise of phone reading http://www.wsj.com/articles/the-rise-of-phone-reading-1439398395 ?

    BalasHapus
  6. Harapan itu masih ada, setidaknya ke generasi penerus. Untuk yang tua-tua (seperti saya) sepertinya sedikit lebih sulit karena biasanya udah capek dengan rutinitas sehari-hari (kerja, mengurus anak, dsb). Saya sendiri bisa baca lagi setelah bertahun-tahun hiatus (pindah domisili, kelahiran anak pertama, jadi kelabakan). Terus terang saya memaksakan diri, karena rasa kangen dengan buku yang nggak bisa terbendung lagi (halah!)

    Saya percaya minat baca seharusnya dipupuk sejak kecil. Belikan majalah atau anak-anak yang warna warni. Ortunya juga hendaknya baca buku anak-anak. Saya sih sukanya anak-anak dikasih semacam teaser "Eh, tau nggak, mama lagi baca buku Peter Nimble nih. Dia buta, tapi hebat bisa begini begitu..." Sejauh ini berhasil dengan kedua putri saya, semoga bisa bermanfaat buat ortu lainnya.

    Great post!

    BalasHapus