30 April 2016

Salahkah Dewasa Membaca Buku Anak?

Sumber Gambar

Untuk memeriahkan #BBIChildrenBooks, awalnya aku cuma ingin membuat ulasan salah satu bukunya. Namun, melihat waktu yang begitu mepet yang sudah hampir Mei, dan tidak ada satu pun buku anak yang kubaca bulan ini, maka aku memutuskan untuk membuat artikel tentang Buku Anak. Jadi, mari kita mulai dengan betapa Buku Anak begitu menyenangkan.

Kenapa Buku Anak?

Setelah membaca banyak Buku Anak, salah satunya karya Roald Dahl, aku semakin yakin bahwa Buku Anak tidak boleh lepas dari bacaan bulananku. Harus ada minimal satu buku dibaca dalam kurun waktu minimal satu sampai dua bulan. Ada apa sebenarnya? Semakin dewasa, aku semakin sadar bahwa banyak waktu terbuang untuk hal remeh-temeh (kerjaan) yang tidak ada habisnya. Dan aku butuh penyegaran.

Bagi sebagian orang, mungkin menyenangkan untuk mengejar profesionalitas dan mengumpulkan pundi-pundi kantong untuk hari tua. Tapi mereka tidak tahu betapa lebih menyenangkan ketika mereka mencoba kembali pada masa kecilnya sesekali; bermain di pusat permainan seperti Timezone atau membeli jajanan jaman SD seperti lidi-lidian atau permen kapas. Bahkan merasa sangat ketika bertemu "teman kecil" dan ketawa-ketiwi mengenang masa-masa "dekil" dulu. Hal-hal seperti itu sungguh diperlukan bagi para dewasa.

Aku? Hanya dengan Buku Anak yang dibaca bisa mengembalikan memori masa kecil; paling tidak tentang seremeh apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh anak-anak. Kebanyakan cerita pada Buku Anak memang beralur cepat dan berplot sederhana. Tentulah karena sasaran utama pembacanya adalah anak-anak. Selain harus menarik, cerita harus tidak membosankan bagi anak-anak karena mereka masih dalam masa perkembangan fokus.

Menjadi Dewasa Tidak Melulu Harus "Dewasa"

Aku akan menceritakan tentang pengalamanku ketika membaca Buku Anak. Setiap jam istirahat makan siang aku berusaha menyempatkan membaca setidaknya satu halaman. Saat itu aku sedang membaca "The Tale of Despereaux" karya Kate DiCamillo dan ada rekan kantor menghampiri dan ingin tahu buku apa yang kubaca. Mengetahui apa yang kubaca, dia menceletuk "Hei, kamu baca buku anak?! Yang benar saja! Buat apa?"

Memang rekan kantorku itu suka baca. Memang dia bacaannya berat semacam literatur klasik karya Alexandre Dumas. Dia seharusnya tidak ada urusan dengan buku yang kubaca. Toh dia tidak membayar tagihan-tagihanku. Apa poinnya dia menceletuk seperti itu? Aku ragu hidupnya membosankan karena bahkan membaca buku "ringan" saja tidak mau.

Apa sih yang membuat para dewasa begitu menyebalkan? Tagihan-tagihan yang berdatangan kepada mereka tiap bulan? Kerjaan yang bahkan membuat mereka merasa 24 jam sehari tidak cukup? Atau gagasan bahwa seorang dewasa harus menjadi "dewasa" dalam artian serius dan jangan-terlalu-banyak-bercanda? Aku bahkan ngeri membayangkan yang seperti itu. Bagiku menjadi "dewasa" tidak melulu soal hal-hal dewasa (bila kau mengerti maksudku).

Dewasa Membaca Buku Anak?

Buku Anak menjadi salah satu faktor yang membuatku terus bergairah dalam menjalani hidup. Serius. Aku jadi ingin terus membaca Buku Anak karena itu sebuah kebutuhan mutlak. Bertualang ke antah-berantah. Bertemu teman-teman yang menyenangkan. Membuat misi untuk mengalahkan para penjahat. Hal-hal kecil semacam itu yang aku butuhkan sebagai penyegaran dari kehidupan dewasa yang membosankan.

Sesungguhnya, aku sedang membaca dua Buku Anak saat ini: "The BFG" karya Roald Dahl dan "Flora & Ulysses" karya Kate DiCamillo. Walaupun masing-masing memberikan keseruan tersendiri dan aku yakin bila diberi waktu beberapa jam saja sudah cukup untuk merampungkannya, aku tidak bisa segera menyelesaikannya. Karena apa? Big Bad Wolf Indonesia sudah dataaang! Auuuu~!


Artikel ini untuk #BBIChildrenBooks.

8 komentar :

  1. Buku anak yg bagus selalu memberikan 'sesuatu' yg ga kita lihat kalau kita membacanya saat anak2. Biasanya ada kritik/pesan/realitas yg tersembunyi dalam simbol atau perumpamaan tentang kehidupan. Tapi kalau ga melihat itu pun, kita tetap masih bisa menikmatinya secara apa adanya juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah, 'sesuatu' yang nggak kita lihat saat anak-anak itulah yang kita lihat saat dewasa. gitu kan maksud mba bzee? :D

      Hapus
  2. Setuju banget kakraf. Membaca buku anak merupakan salah satu cara "melarikan diri" dari realita, karena kadang-kadang menjadi dewasa itu tidak seindah bayanganku dulu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. dari kecil aku nggak pernah mikir kalo jadi dewasa itu indah. :D

      Hapus
  3. Dalam diri setiap orang dewasa ada sisi anak2 yg tersembunyi. Dan kadanh sisi itu.timbul ketika terpicu dgn hal yg pas.

    Tak sedikit penyuka Enid Blyton jd sering kamping di alam bebas hingga dewasa. Bahkan menularkan kegemaran pada keluarga.

    Temanmu pasti ngak bakalan ingat senangnya berlari di bawah hujan plg sekolah. Sibuk menghindar cipratan lumpur teman. Membosankan!

    Saat merekomendasikan buku fantasi pd ibu yg sayang anak di BBW kemarin, kita selipkan buku anak klasik, Mark Twain. Agar ia jg tahu diantara distopia dan drakula, ada padang rumput luas. Ada anak yg bahagia dgn cara yang berbeda. Memicu kreativitas.

    BalasHapus
  4. Btw ada buku buku anak yg menurutku malah berat bahasannya. Tapi tetep menyenangkan sih. Apalagi yang jumlah halamannya tipis tipis :))

    BalasHapus
  5. buku anak malah jadi genre favoritku dari jaman dulu sampai sekarang udah jadi emak2 :D ceritanya yang ringan tapi tetep dalem selalu pas rasanya :) semoga aja koleksi buku anakku bisa diwarisin ke yofel suatu hari nanti hahaha

    BalasHapus
  6. Setuju.
    Jangankan buku anak, majalah anak seperti Bobo dan Donal Bebek pun masih suka kubaca padahal udah mau kepala tiga. Haha..
    Menjadi dewasa seperti sekarang ini, kemudian membaca buku anak/menonton film anak dan anak kecil dalam diri menjerit senang itu.... Rasanya sungguh membahagiakan :)

    BalasHapus