11 Juli 2015

Gege Mengejar Cinta

Sampul
Pengarang : Adhitya Mulya
Penerbit : GagasMedia
Tahun : 2005
Dibaca : 7 Juli 2015
Rating : ★★

"So, basically, cewek mencintai orang yang mencintainya. Tapi kalo cowok, mereka memilih kepada siapa cinta mereka akan mereka berikan." (hal. 97)

Sedih rasanya memberikan nilai yang kurang dari rata-rata pada satu karya penulis yang karya sebelumnya, bisa dibilang, sangat aku elu-elukan. Tapi mau bagaimana lagi? Cerita dan segala hal tentang editorialnya sangat berbeda. Mungkin dikarenakan buku ini yang terbit satu dekade sebelum ini, jadi mungkin penulis belum memiliki karakter khas dalam penulisannya. Yah, aku hanya berandai-andai mengapa.

***

Cerita dimulai ketika Geladi Garnida alias Gege berada di bangku SMP dan mengenal perempuan bernama Annisa Saripuspita alias Caca. Gege begitu terkagum-kagum oleh kecantikannya sehingga berencana menjadikan Caca pacarnya. Aeperti pungguk merindukan bulan, Gege sangat sulit menjadikan Caca pacar; berkenalan saja sangat sulit karena Caca selalu dikerubungi banyak laki-laki.

Berdekade-dekade berikutnya, Gege sudah menjadi produser salah satu radio di Jakarta. Gege senang dalam lingkungan kerjanya karena Tia. Tia-lah yang selalu ada saat Gege butuh. Tia-lah yang selalu mengajak Gege makan siang bareng. Tia jugalah yang memendam perasaan pada Gege. Hingga suatu saat, petir itu tiba. Bukan. Wanita itu tiba. Wanita yang mengalihkan dunia Gege. Wanita yang kembali dari masa lalu Gege, Caca.

***

Aku membaca ini karena rasa penasaranku akan karya-karya lain penulis. Setelah membaca "Sabtu Bersama Bapak" yang sempurna itu, aku ingin tahu apakah yang lainnya juga sama. Seperti kejatuhan durian, beberapa saat lalu penerbit ulang tahun dan berbagi e-book gratis dan buku ini adalah salah satunya. Jadi, aku langsung unduh dan baca. Dan hebatnya, aku menyelesaikannya dalam format e-book. Aneh saja karena sebelum ini, aku belum pernah membaca e-book lebih dari 200 halaman.

Baiklah. Aku ralat sedikit tentang kekhasan yang berbeda di atas. Buku ini masih memegang konteks humor yang renyah dan tidak terlalu dibuat-buat, sama dengan "Sabtu Bersama Bapak". Aku ingat ketika tersenyum dan sesekali terkikik ketika membaca ini di kereta dalam perjalanan berangkat dan pulang kerja. Menghibur dan melepaskan stres.

Selain itu, aku seperti diberikan wawasan lebih luas lagi dalam dunia broadcasting. Seperti istilah "adlib" yang merupakan sebuah teknik iklan yang diselipkan dalam pembicaraan penyiar ketika siaran berlangsung. Beberapa orang menggunakan terminasi adlips untuk hal yang sama. Sepertinya profesi penyiar radio itu menarik.

Gege Mengejar Cinta (2005)
Hanya saja ini: editorial. Kalau bisa dibilang parah, parah. Kalau bisa dibilang bisa dimaklumi, bisa dimaklumi. Mungkin tingkat penyuntingan penerbit sekarang berbeda dengan sepuluh tahun silam. Banyak sekali inkonsistensi bahasa dan gaya bahasa yang jauh dari kata rapi. Tapi, bukankah buku ini dicetak ulang pada 2014 lalu? Aku bertanya-tanya apa ada perbaikan atau tidak di dalam naskahnya.

Yang membuatku menyelesaikan buku ini adalah alur cerita yang membuatku ingin tahu siapa pada akhirnya yang Gege kejar dan dapatkan. Selain itu, humor-humor juga mengatasi segala. Tetapi lagi-lagi, aku dibuat terkesima dengan akhir cerita yang terlalu mengada-ada dan dibuat-buat. Seseorang bisa keluar-masuk bandara seenaknya, yang benar saja? Seseorang menelepon interaktif dengan radio dan tidak mematikan teleponnya dalam waktu yang lama, yang benar saja?

"GJKGHKGKJGKGKK." (hal. 247)

Kalian paham ekspresi apa yang diwakilkan oleh susunan huruf di atas? Hingga saat ini, aku masih bertanya-tanya: apa dia kebelet pipis, tertawa, atau tersedak biji kedondong.

Ulasan ini untuk tantangan 100 Hari Membaca Sastra Indonesia.

Baca juga: Sabtu Bersama Bapak

2 komentar :

  1. Aku dulu suka banget Jomblo dan novel ini. Kayaknya sampe ngakak-ngakak bacanya. Trus aku ga gitu suka Sabtu Bersama Bapak. Hahaha. Kebalik ya Raaf. Mungkin aku tipe orang lama kali yak. Dulu kan pas zaman Jomblo sama Gege ini baru terbit, belum banyak novel pop Indonesia kayak sekarang, malah jarang bangeett... Dulu paling kalo mau baca yang ringan2 yaaa Lupus. Ah.. masa2 itu... *apa seh Na???*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin benar juga apa kata Mba Nana. Dulu novel komedi jarang. Tidak dengan sekarang yang malah kayak ngabisin kertas saking banyaknya penerbit menerbitkan novel yang kualitasnya dipertanyakan :p Makasih udah berkunjung Mba!

      Hapus