30 Maret 2015

[Opinion] They Said About Fantasy Novel


Untuk menyemarakkan event Around The Genres in 30 Days, Bibli melakukan wawancara pada empat penikmat dan penggiat novel fantasi tentang novel fantasi yang baik. Jadi langsung saja kita cari tahu.

***

Cypress Ruby a.k.a Selvianty Yusuf berpendapat bahwa unsur fantasi pada novel genre fantasi merupakan latar belakang dari sebuah cerita fiksi. "Atau semacam aksesoris", sebutnya. Cerita tersebut harus bisa dijelaskan secara logika. Konflik yang punya dasar dan penjabaran karakter yang kuat akan menjadi satu cerita utuh yang baik.

Novel yang biasa membuatnya kagum adalah jika sisi fantasinya masuk logika, tidak asal menaruh "sihir" tanpa ada gambaran dari mana sihir itu berasal. "Pada setiap novel fantasi yang kubaca, yang bikin terkagum-kagum itu bagaimana cara si karakter menggunakan sihirnya," lanjutnya. Sihir di sini bisa merujuk pada unsur fantasi yang dikarang oleh penulis.

"Seperti yang kubilang, sisi fantasi pada buku hanya sekadar 'alat'. Sama dengan ketika kita baca buku genre fiksi-ilmiah, itu cuma aksesoris saja. Yang kita perhatikan bagaimana karakter utama atau sampingannya menggunakan aksesoris-aksesoris itu, bagaimana istilah-istilah sihir atau ilmiah bisa jadi sangat masuk akal tanpa bertentangan dengan realita kita sendiri," tutup wanita yang biasa dijuluki Queen of PNFI tersebut.

***

Berbeda dengan Desi Ariyanis yang berpendapat cerita fantasi yang baik dalam novel adalah yang mengandung unsur fantasi yang kental, memiliki karakter yang mudah diingat, plot yang bagus dan tidak mudah ditebak, serta ide yang tak perlu baru tetapi diramu dengan baik.

Karakter fantasi yang mudah diingat contohnya pendeskripsian naga. Ada jutaan naga yang ditulis penulis tapi pembaca hanya ingat beberapa seperti Smaug milik J.R.R. Tolkien, Norbet milik J.K. Rowling, dan Saphira milik Christopher Paolini. Mereka membuat naga mereka diingat pembaca karena memiliki ciri. G.R.R. Martin punya direwolf dengan nama yang biasa seperti Summer dan Ghost tetapi membuat pembaca ingat.

Pembaca akan kurang antusias melanjutkan karena sudah dapat menerka-nerka ending-nya karena plot yang kurang ganas. "Buat apa buang-buang waktu baca cerita yang kita sudah tahu jawabannya?" tukasnya. Biasanya karakter utama yang selalu menang pasti bisa dibilang mudah ditebak. Tetapi proses kemenangannya seperti apa dan apa yang harus dia korbankan untuk menujunya, adalah hal penting.

Ghost
Tapi beda pembaca beda pula apa yang mereka cari. Ada yang baca buku karena karakternya, ada yang baca karena fighting scenes-nya, ada juga yang baca karena romance pada cerita fantasi tersebut. "Apapun yang mau ditonjolkan, buat sedetail mungkin," saran wanita berakun twitter @dessywinsy menutup perbincangan.

***

Pendapat Desi didukung Puji Pujiyanto. Pria yang berdomisili di Karawang ini menyebutkan bahwa di samping kepiawaian penulis bertutur kata serta membangun plot yang ajaib, kisah fantasi bakalan "ngena" bila world building-nya bagus. "Karena kisahnya kan fantasi, nggak lucu kalau dunia yang dibangun terasa mengambang," ujarnya.

Akan lebih ajaib bila para tokoh yang menyertainya juga mendukung latar cerita yang dibuat, berikut bahasa serta dialog-dialognya; apa yang dipakai, apa yang dilakukan, dan perspektif dari masing-masing tokohnya terhadap dunia itu.

Yang tidak kalah penting adalah unsur fantasinya, atau bagian "sihir"-nya. "Aku paling tidak suka dengan cerita fantasi yang bagian 'sihir'-nya terasa digampangkan, misalnya asal mengucap ini untuk berubah menjadi sesuatu," tutup pria penggemar Game of Thrones ini.

***

Terakhir, Lulu Fitri Rahman yang mengaku hanya Harry Potter sebagai novel fantasi favoritnya memberikan pendapat yang sama dengan Selvi. Menurutnya, novel fantasi tidak berbeda dengan novel genre lain. "Aku suka dengan cerita yang seru, juga punya konflik dan penokohan yang kuat." akunya.

Kalaupun dibuat fantasi dengan elemen sihir, dewa mitologi, atau istilah asing, dasarnya tetap pada cerita yang kuat. Semua elemen-elemen itu adalah "bumbu", yang kalau dikemas dengan baik, bisa menyatu mulus dengan ceritanya dan membuat kita berfantasi. "Asalkan 'bumbu' itu bisa bercampur dengan ceritanya. Jadi bukan kayak tempelan," tutup wanita berhijab yang berprofesi sebagai penerjemah ini.

***

Setelah melihat beberapa pendapat di atas, Bibli juga setuju bahwa unsur fantasi adalah unsur tambahan pada sebuah cerita fiksi. Bila unsur-unsur tersebut diperhatikan baik-baik oleh penulis, maka cerita itu bisa masuk sebagai cerita fantasi yang baik. Menurut kalian?

2 komentar :

  1. Bnr, fantasi juga untung2an. Ide unik juga belum tentu jadinya bagus. World building keren tapi ga didukung karakternya, hasilnya pun kacau :)

    BalasHapus
  2. *asyik menyimak
    Saya juga sependapat, kalau novel fantasi memang mestinya realistis juga dalam penjabarannya. Bukan awang-awangan, dan detilnya tertangkap indera. Unsur fantasi {semisal sihir-saya sih berharap yg mistik-mistik} ditampilkan secara "ajaib", namun harus kena asal-usul "ajaib"nya itu :D

    BalasHapus